DURIAN UNTUK EMAK



DURIAN UNTUK EMAK
Muhammad Qowy*

Wildan masih termenung diam di bawah tiang lampu merah. Ia melamun tentang harapan dan kenyataan. 15 tahun ia sudah jalani hidup dengan cara yang sama. Ya. Wildan adalah pengamen jalanan. Sesekali ia juga memungut kotoran sampah untuk tambahan harapan. Namun lagi-lagi kenyataan membuyarkan harapnya yang sudah menumpuk tak tertahan.
“tiiin..tiiin”
Bunyi bel mobil yang hampir menabrak sepeda motor—yang berhenti mendadak karena lampu merah menyala—membuyarkan lamunan Wildan. Ia beranjak dari lamunannya dan mulai bekerja seperti biasa. Ada yang berbeda darinya. Wajahnya tampak frustasi. Tak bersemangat seperti biasa. Terkadang—pada hari itu—ia juga mengamen dengan tangisan serius.
“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik....” Lirik lagu—nyanyian yang membuat Wildan menangis—milik grup band ternama di Indonesia itulah yang selalu ia nyanyikan saat mengamen di hari itu.
Menangis. Ya. Menagis. Bagaimana tidak. Anak yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah itu mengamen dengan tujuan yang berbeda dengan pengamen pada umumnya—yang biasanya mengamen untuk beli rokok, ngopi, bersenang-senang dengan genk sesama pengamen, dan hal menyenangkan pribadi lainnya—yang mengamen untuk kepentingan pribadi, meski ada juga yang mengamen untuk tujuan hidup sebenarnya. Namun, Wildan mengamen tidak untuk dirinya, tidak untuk pendidikannya, atau bahkan untuk masa depannya. Ia mengamen hanya untuk emaknya yang sedang sakit terkapar di rumah gubuknya.
Namun, bukan obat penyembuh yang ia buru selama ini—meski memang seluruh uangnya selalu habis untuk dibelikan obat-obatan, dan sisanya untuk makan ala kadarnya bersama emak—melainkan buah Durian yang menjadi ambisi seriusnya. Ya. Durian. Rajanya Buah kata banyak orang. Wildan sangat berambisi membeli buah itu, namun selalu gagal lantaran obat-obatan dan kebutuhan hidup yang membuat uang hasil ngamennya ludes seketika setiap harinya.
Pernah Wildan mendapatkan uang banyak saat rezeki sedang memayungnya. Namun sungguh sial. Lagi-lagi uangnya ludes. Kala itu, Wildan dipalak kawanan sesama pengamen. Ia tak berani melawan, karena ia lebih memilih menyerah dari pada melawan dengan resiko kondisi nyonyor dan pasti tak dapat ngamen lagi untuk hari esok.

***

Suda hampir 6 jam Wildan mengamen, namun ia masih mendapatkan uang recehan tak banyak seperti biasa. Jelas hasil itu tak cukup untuk membeli buah Durian, karena pasti akan langsung habis untuk membeli obat dan persediaan makanan.
“Ya Tuhan. Aku tidak meminta banyak darimu. Hanya cukupkan penghasilanku kali ini untuk membeli buah Durian.” Doanya melas kepada sang Maha Kaya. Entah sudah berapa kali Wildan berdoa dengan doa yang sama seperti itu.
Wildan menatap lampu merah yang belum menyala. Ia kembali melamun. Melamunkan peristiwa yang membuatnya sangat ambisius terhadap buah Durian.
8 tahun yang lalu—saat Wildan masih nguntil emaknya mengamen, saat ia masih belum bisa membantu emaknya ngamen karena belum begitu mengerti tentang perjuangan hidup—emaknya suka bercerita tentang banyak hal, karena memang mendengarkan cerita dari si emaklah yang menjadi kesukaannya, melebihi kesukaan bermain dengan anak seumurannya yang lain.
Emaknya bercerita tentang kisah-kisah anak sholeh, dongeng, dan cerita apa saja yang dapat mendidik dan menghiburnya. Sesekali juga emaknya mengenalkan banyak benda dan sesuatu yang belum Wildan ketahui. Baginya, emak adalah pendidikan yang sebenarnya—penuh kasih sayang saat mendidik, lembut tutur katanya, dan selalu suka rela.
Pada suatu ketika, Wildan nyeletuk tak sengaja bertanya kepada emaknya.
“Mak, rajanya buah itu apa sih?” Tanyanya polos. Wildan mengetahui istilah itu saat mendengarkan obrolan seseorang—yang sedang ia dan emaknya ameni—yang asik memperbincangkan buah tersebut, “kok kayaknya enak banget.”
“Raja buah itu buah yang menjadi kegemaran banyak orang le.” Jawab si emak dengan tutur kata lembut, “Buah yang selalu ditunggu-tunggu banyak orang. Namanya buah Durian.”
“Rasanya pasti enak ya mak?”
“Sangat enak le. Karena rasanya yang enak, buah Durian harganya mahal dan dijuluki rajanya buah.”
“Emak sudah pernah makan?” rasa ingin tahu Wildan bertambah.
“Emak dari dulu ingin merasakan kenikmatan buah Durian. Tapi tidak pernah keturutan le.” Jawab emaknya jujur, “Aduh. Gara-gara kamu, emak jadi ingin ngerasain buah Durian. Hayo tanggungjawab.” Canda si emak kepada Wildan. “Kapan ya le, kita bisa merasakan nikmatnya buah Durian.” Harapan tak pasti si emak membuat Wildan termenung.
Meski emaknya tidak begitu serius ingin merasakan kelezatan buah Durian, meski emaknya tidak serius—dengan bercanda—menyuruhnya bertanggungjawab karena membuat si emak ngidam Durian, Wildan menganggap semua itu adalah sebuah tanggungjawab yang harus dilakukan dengan serius sebagai seorang anak.
Wildan yang masih berusia 7 tahun saat itu sudah mengerti arti sebuah tanggungjawab. Rasa tanggungjawab yang dimilikinya didapatkan dari kisah-kisah anak sholeh yang selalu ia dengarkan dari emaknya. Wildan ingin menjadi anak sholeh seperti yang diceritakan emaknya. Jika keinginanya ingin terpenuhi, maka ia harus bertanggungjawab sebagai anak yang harus membahagiakan emaknya. Dan baginya, kebahagiaan emaknya bersandar pada buah Durian.
Pemahaman Wildan terhadap pentingnya rasa tanggungjawab mengalahkan pemahaman orang dewasa, bahkan pemimpin bangsa—yang selalu miskin rasa tanggungjawab di negeri kita (katanya).—Ya wajarlah. Mungkin mereka, para pemimpin bangsa, yang miskin rasa tanggungjawab itu, tidak pernah mendapat cerita tentang kisah-kisah anak sholeh dari emak mereka, atau mungkin mereka tidak mau mendengarkan saat emak mereka bercerita tentang anak sholeh. Jadi ya itu wajar. Wajar kalau sikapnya kurang ajar.

***

“Jam berapa sekarang?” Wildan beranjak dari lamunannya. Ia harus segera pulang. Dan seperti biasa, sebelum sampai di gubuk kediamannya, ia harus mampir terlebih dulu ke Apotek guna membeli obat-obatan untuk emaknya, dan membeli beberapa persediaan makanan ala kadarnya untuk hari esok.
Panas terik sang surya masih setia menyorotinya. Seperti biasa, Wildan harus sampai di rumah sebelum sore tiba. Karena ia harus memasakkan makanan untuk emaknya sebagai syarat sebelum minum obat.
Wildan sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah seperti itu sejak emaknya terkapar sakit 5 tahun lalu. Ia tak pernah mengeluh. Bahkan ‘mengeluh’ pun ia tak tahu apa artinya. Yang ia tahu hanyalah menjadi anak sholeh adalah sebuah keharusan baginya. Karena itu adalah impiannya semenjak masih kecil dulu. Semenjak ia mulai dikenalkan wujud anak sholeh melalui kisah-kisah yang diceritakan emaknya.

***

Di tengah perjalanan, Wildan terhenti seketika. Ia mencium bau si Raja Buah yang menjadi ambisinya. Ia pun segera mencari sumber bau itu. Dan benar. Ada penjual buah Durian. Lalu Wildan memandang dengan pasti penjual buah Durian yang sedang dikerumuni banyak pembeli. Ia tahu bahwa uangnya lagi-lagi tidak cukup untuk membeli sebuah Durian, karena uang penghasilannya harus dibelikan obat-obatan dan makanan sebagai penambah hidupnya dan si emak.
Namun, kali ini, ambisiusnya membabi-buta. Mungkin karena Wildan ingin emaknya merasakan kenikmatan buah Durian yang tidak pernah dirasakannya juga. Wildan mendekati penjual Durian yang sedang ramai pembeli itu. Melihat si penjual yang sedang asik sibuk melayani pembeli, Iblis pun menghasutnya. Saking kepinginnya ia membahagiakan emaknya dengan memberikan buah Durian, Wildan berniat untuk mencuri satu buah. Nampaknya, hasutan si Iblis berhasil.
Peluang mencuri kelihatannya sangat besar melihat kesibukan yang dialami si penjual Durian itu, pikirnya. Wildan mendekat dan bergumbul dengan para pembeli lainnya. Meski ia tidak pernah berakting, kali ini penyamarannya berhasil. Ia dianggap pembeli juga oleh si penjual itu. Wildan memberanikan bertanya tentang harga sembari memegangi buah Durian yang ia incar sambil menunggu peluang untuk membawanya pergi tanpa permisi, alias mencuri.

***

Wildan tersenyum lega, karena sekarang ia berhasil membawa satu buah Durian secara diam-diam tanpa diketahui dan dicurigai siapapun. Ia berjalan seperti biasa layaknya pembeli yang telah selesai membayar. Ia berjalan menjauh dan semakin menjauh. Penyamarannya berhasil. Pencurian pertamanya berjalan mulus di luar perkiraan.
Namun, belum 100 meter jauhnya ia melarikan diri, Wildan menghentikan langkah kakinya. Air matanya tiba-tiba jatuh. Dalam hati, Wildan memaki dirinya sendiri, “Bodoh. Apa gunanya emak bercerita tentang anak sholeh kepadaku jika karena hasrat dunia saja aku bisa lupa. Apa bedanya aku dengan anjing penjaga rumah yang bisa terbuai oleh imingan daging segar oleh seorang maling dan melupakan intruksi tuannya.”
Tangisnya bertambah. Ia teringat kisah-kisah anak sholeh yang diceritakan emaknya sewaktu masih kecil. “Anak sholeh itu tidak pernah mencuri apapun, meski keinginannya sudah menggunung. Ia akan lebih memilih menerima kesederhanaan di depan mata dari pada kepuasan yang dipaksakan. Kamu jangan mencuri ya le kalau ingin jadi anak sholehnya emak!” tuturan si emak yang masih nempel ketat di otak Wildan membuatnya menangis penuh dosa.
Dengan perlahan dan tangisan yang belum mampet, Wildan kembali berjalan menuju penjual Durian yang masih ramai pembeli. Ia meletakkan kembali buah Durian yang sudah berhasil ia curi tadi. Ia menangis, namun orang di sekitar tidak menyadarinya, karena mereka sedang sibuk memilih buah Durian yang akan dibeli.
“Buah Duriannya enak lho bu. Silahkan dicoba dulu.” Tawar lantang penjual Durian terhadap pembelinya menghentikan tangisan Wildan. Lalu ia mendengarkannya lebih serius.
“Ini sudah saya sediakan Durian yang sudah saya belah untuk dicoba. Silahkan dicicipi dulu kalau mau memastikan Durian saya manis apa tidak.”
Mendengarnya, Wildan langsung mengambil satu biji yang ada di dalam buah Durian bersamaan dengan pembeli lain yang ingin mencicipi. Satu biji Durian dengan dagingnya yang gurih berhasil ia dapatkan. Namun, satu biji buah Durian itu tidak ia cicipi di tempat seperti pembeli yang lain. Ia menyimpannya dan memasukkannya ke dalam kantong plastik yang ia minta dari si penjual Durian.

***

Wildan berlari dengan sebiji buah Durian. Dengan tetesan air mata kelegaan, ia tak henti-hentinya mengucap syukur kepada sang Maha Pemurah. Tak lupa sebelum sampai rumah, ia membeli obat dan bahan makanan untuk persediaan seperti biasa. Ia berlari sangat kencang, seperti orang yang kejatuhan rezeki nomplok—menang undian lotre senilai 1 Milyar—yang ingin segera memberitahukan kabar bahagia kepada keluarga di rumah.

***

“Mak..Mak..” teriak Wildan memanggil emaknya sesampai di rumah.
“Ada apa le?” jawab emaknya yang masih terbaring sakit di atas tikar kardus bekas.
“Mak, lihat!” pintanya.
“Apa le?”
“Apa emak tidak kenal dengan buah ini? Apa emak tidak mengenali bau ini?” tegasnya memberi petunjuk.
“Bukankah ini sebiji buah Durian?” emaknya memastikan.
“Iya mak. Ini Durian.” Tegas Wildan tersenyum.
“Dari mana kau dapatkan ini le?” Tanya si emak ragu.
“Ini bukan dari mencuri mak. Ini dapat gratis dari penjualnya. Katanya kalo mengambil satu biji sebagai cicipan, tidak apa.” Terangnya, “ini untuk emak. Emak dari dulu kan ingin merasakan betapa nikmatnya buah durian.” Tambahnya.
“Tidak. Kamu saja yang memakannya. Kamu kan juga ingin merasakannya.” Tolak si emak.
“Tidak mak. Saya sudah mencicipinya tadi di sana” Wildan terpaksa berbohong demi kelegaan emaknya.
“Wah. Bagaimana rasanya le? Enak?”
“Enak mak.” Tegasnya berbohong lagi.
Wildan terpaksa berbohong karena ia ingin emaknya bisa merasakan buah yang diidam-idamkan si emak sejak dulu, meski saat itu ia harus menelan ludah karena kepingin melihat emaknya yang sedang lahap melumat habis daging biji Durian.
Tak lama, Wildan menangis. Bukan karena sedih, tapi karena ia senang bisa melihat emaknya bahagia karenanya.
“Mak. Mak suka Duriannya?” Tanyanya sambil menangis.
“Suka le. Suka. Rasanya enak sekali. Tak salah orang-orang menjulukinya Raja Buah.” Jawab si emak yang masih asik menikmati sisa-sisa daging biji Durian.
“Mak. Maafkan saya.” Tangis ampunan Wildan membuyarkan selera si emak.
“Kenapa kamu meminta maaf dan menangis le?” Tanya emak sembari menenangkan anaknya.
“Maafkan saya jika tidak bisa membawakan sebuah Durian utuh. Saya hanya bisa membawa sebiji saja untuk emak.” Tangisnya menderu.
Le, yang emak inginkan bukan sebuah Durian utuh. Emak hanya ingin merasakannya saja sebagai pelepas penasaran.” Hibur si emak, “Jika hanya satu jilat saja emak sudah bisa merasakan, emak sudah senang le. Apalagi kamu membawakannya satu biji yang bisa emak nikmati begitu lama.” Tambah si emak menghibur anaknya.
“Mak, apakah saya sudah menjadi anak yang sholeh untuk emak?”
Le, dengan perjuanganmu yang sederhana ini, emak tidak punya alasan untuk tidak menganggapmu sebagai anak sholeh”.
Si emak tersenyum memandangi Wildan yang masih menangis, lalu si emak memeluknya dengan pelukan yang sangat hangat. Pelukan yang tidak pernah dirasakan oleh semua anak, selain mereka yang benar-benar paham dan memperjuangkan Birrul Waalidain sepanjang hayatnya.

Jombang, 2014

*) Moh. Qowiyuddin Shofi, lahir di Tambakberas Jombang.
Aktif sebagai pegiat teater kampus: Teater Ringin Conthong.
Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di MTS AL-IHSAN Kalikejambon.
FB: Qowy Si-sastrawan KopLak
Tw: @Qowiyuddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK DASAR DAN BENTUK ASAL

RAHWANA

Aku (maha)siswa