B R O L : JERITAN SI ALIT KEPADA YANG ELIT
B R O L : JERITAN SI ALIT
KEPADA YANG ELIT
SEBUAH CATATAN PERTUNJUKAN
TEATER
Muhammad Qowy*
. . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . .
PAK LURAH
“Nek negara
iki dihuni masyarakat kaya sampean kabeh sing gak duwe KTP, gak jelas uripe,
lan gak jelas sembarang kalire, ya bakal bangkrut negara iki.”
JUPRI
(WARGA)
“Nek negara
iki pemimpine kaya sampean kabeh sing hobine ngurusi jabatane, kepentingane,
lan wetenge dewe, ya bakal rusak negara iki.”
. . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . .
(Penggalan dialog antartokoh, dalam naskah BROL)
Begitulah salah satu adegan adu
mulut saat penggusuran berlangsung dalam pertunjukan teater di Gedung Aula
Darul Hikmah KEMENAG Jombang oleh Teater Ringin Conthong (TRC) beberapa hari
yang lalu. Menyimak adegan adu saling menyalahkan di atas —antara Pak Lurah dan
Jupri (Warga)— memang masih menjadi sebuah kebingungan tentang siapa sampah
negara yang sesungguhnya. Apakah mereka —yang tidak memiliki data kependudukan
(KTP) di negara— yang dianggap merusuhi keindahan pembangunan kota karena hidup
di ‘seenaknya’ tempat tanpa legalitas yang jelas —hingga kolong jembatan,
bantaran sungai, dan wilayah yang dianggap bermasalah pun jadi tempat
meneruskan sisa hidup yang tak keruan— ataukah mereka yang memimpin negera hanya
untuk kepentingannya sendiri sehingga berujung pada tindak ‘keserakahan dan
penistaan kemanusiaan’. (Mungkin) Hanya relativitas kemanusiaan masing-masing
kitalah yang mampu menjawab. Namun, (setidaknya) kita patut memahami bagaimana
keadaan sesungguhnya yang dialami oleh kaum alit yang jarang (bahkan
‘mungkin’ tidak pernah) dimengerti oleh kaum elit di negara ini, dan inilah yang
coba diungkapkan oleh sekelompok teater kampus, TRC, dalam sebuah pertunjukan
teater dengan lakon BROL, trilogi lakon Amergo Susah Urip (ASU),
karya Babe Yuke yang dipentaskan selama dua hari, Sabtu-Minggu, pada tanggal
15-16 Oktober 2016.
Pementasan BROL yang
disutradarai oleh A.B Yahya ini mengisahkan tentang kehidupan sekelompok rakyat
alit yang tidak ber-KTP dan bermukim di sebuah wilayah kumuh pinggiran
kota yang (tentu saja diklaim pemerintah) tidak memiliki legalitas tempat yang
jelas. Meski demikian, mereka tetap bisa tinggal di wilayah tersebut berkat
bantuan Baskoro, penguasa wilayah yang menggantikan penguasa sebelumnya, Dargo,
yang berhasil ia bunuh dengan licik dan brutal di naskah sebelumnya: BEDOL (ASU
#2). Meski lebih tertata dari sebelumnya, keresahan warga tetap terjadi karena
mereka kesulitan membayar pungutan sewa rumah yang dipatok tiap bulannya oleh
Baskoro yang juga memiliki tanggungan untuk mengalirkan sebagian (besar) uang
hasil setoran warga ke kantong para penguasa daerah agar wilayah yang ia kuasai
tetap aman dan tidak dipugar untuk pembangunan kota. Namun, ‘penguasa tetaplah
penguasa’. Ia berhak bertindak semaunya demi kepentingan(nya sendiri) daerahnya.
Meski sudah aktif membayar setoran warga, Baskoro pun harus takluk melawan keinginan
penguasa tertinggi (pemerintah daerah) di daerah tersebut untuk memugar wilayah
yang ia kuasai, hingga pada akhirnya masalah menjadi semakin runyam saat pemerintah
daerah memutuskan untuk melakukan penggusuran di wilayah tersebut dalam waktu
dekat untuk pembangunan kota. Supar yang mengetahui kabar penggusuran itu
langsung mengabarkannya ke semua warga. Sontak, warga pun kebingungan.
Kebingungan mereka semakin menjadi tatkala Mbah Joyo, sesepuh desa yang turut
berjasa dalam membangun wilayah mereka, meninggal akibat kekagetan yang ia
terima saat mendengar kabar penggusuran itu. Warga tak memiliki pilihan. Ada
yang bersepakat pindah dari lokasi itu, ada juga yang bersikeras mempertahankan
wilayah yang sudah dianggap bersejarah bagi mereka. Namun, apa daya, tidak ada
lagi yang dapat menghadang pemerintah melaksanakan penggusuran lahan dan rumah
tempat tinggal mereka yang sudah diklaim menjadi milik negara untuk Program Pembangunan
Daerah. Al hasil, (lagi-lagi) yang ‘alit’ pun kalah melawan yang
‘elit’.
Pementasan dengan tajuk “Pentas
Mandiri” yang sudah menjadi agenda tahunan TRC ini terbilang sukses karena selalu
disesaki penonton pada tiap tampilannya. Pementasan berlangsung sebanyak 4
kali: 2 kali pementasan pada hari Sabtu (15/10) dan 2 kali pementasan pada hari
Minggu (16/10). Meski tim produksi pementasan kali ini menaikkan harga tiket,
Rp.15.000 untuk penonton pelajar, Rp.17.000 untuk penonton umum, dan Rp.20.000
untuk semua penonton yang membeli tiket pada hari pementasan, tetap saja tidak
menyurutkan jumlah peminat pertunjukan teater pada pementasan tersebut. Tercatat
tiket pada pementasan 1, 2, dan 3 terjual habis. Hanya pementasan 4 (terakhir)
yang menyisakan beberapa tiket saja. Ini membuktikan bahwa antusias penonton terhadap
pertunjukan teater di Jombang tetap terjaga.
Pada sesi sarasehan pertunjukan
yang dilaksanakan setelah pementasan kedua, banyak apresiasi berupa sanjungan
yang diberikan penonton terhadap pementasan BROL karena dirasa mampu
menyuguhkan sindiran-sindiran kaum alit terhadap kaum elit yang dikemas
dalam permainan komedi cair sehingga sindiran terasa unik dan menggelitik. Salah
satunya adalah sanjungan dari salah satu pegiat teater kampus dari Jember. Selain
terkesan dengan permainan para pemeran tokoh yang dirasa berkarakter kuat, Ia juga
terkesan dengan pertunjukan BROL yang mampu membuatnya merasa nyaman dan
terpesona selama menonton. Ia mengungkapkan bahwa selama perjalanannya dalam
menonton teater, baru kali ini, ia menyaksikan sebuah pertunjukan teater
seperti menonton adegan siaran langsung sehingga ia merasa benar-benar berada
di tempat kejadian peristiwa. Hal ini ia ungkapkan lantaran belum pernah ada
pertunjukan teater di kotanya, Jember, yang berani menyuguhkan pertunjukan
realis disertai penggarapan setting panggung yang menyerupai
bangunan-bangunan aslinya.
Apresiasi lain datang dari Nanda
Sukmana, Dosen Sastra Prodi. Bahtra. STKIP PGRI Jombang. Ia mengapresiasi ke-eksistensi-an
TRC dalam menyelenggarakan sebuah pertunjukan teater di kota yang tidak
memiliki gedung pertunjukan ini. Karena baginya, menyelenggarakan pertunjukan
teater di gedung yang notabene bukan gedung pertunjukan –apalagi tarif sewa
gedung tersebut tidaklah murah— adalah hal yang sangat menyulitkan bagi pegiat
seni teater. Tak lupa, ia juga (masih) berharap (suatu saat, entah kapan) akan
ada pemimpin daerah (Kabupaten Jombang, khususnya) yang peduli terhadap
semangat berkesenian warganya dalam mengekspresikan jiwa kesenian sehingga
bersedia memberikan fasilitas berupa Gedung Kesenian/ Pertunjukan. Terlepas
dari impiannya (Jombang memiliki Gedung Kesenian/ Pertunjukan), Dosen yang
aktif membimbing pementasan studi mahasiswanya ini juga mengapresiasi kehadiran
kelompok teater kampus dari kota-kota lain pada sesi sarasehan pertunjukan BROL,
diantaranya Teater Q (Surabaya), Teater Komedi Kontemporer (Malang), Teater
Roda (Lamongan), Teater Kanda (Kediri), Teater Dewan Kesenian Jember (Jember),
dan beberapa kelompok teater yang ada di Jombang dan sekitarnya. Ia menganggap
bahwa TRC telah berhasil menyinergikan spirit silaturahmi antarkelompok
teater kampus, sehingga diharapkan, dengan ke-sinergi-an antarkelompok teater
kampus di beberapa kota ini, seni teater mampu bersaing dengan
pertunjukan-pertunjukan yang lebih digandrungi kalangan remaja masa kini:
pertunjukan Band/ sejenisnya.
Selain Nanda Sukmana, Andhi Setyo
Wibowo juga memberikan apresiasinya. Namun, pria yang akrab disapa Kepik ini
lebih menyoroti pertunjukan BROL dari segi kisah. Ia berpendapat bahwa kisah
penggusuran yang diangkat dalam naskah BROL memiliki kesamaan dengan
naskah yang pernah ia buat pada tahun ’97: Warta. Dalam naskahnya, Warta,
juga mengisahkan tentang penggusuran tempat tinggal warga yang dianggap ilegal.
Artinya, secara perkembangan, negara ini tidak memiliki perubahan yang berarti.
Gusur-menggusur hunian kaum alit tanpa menghiraukan kejelasan dan
kesejahteraan di tahun ’97 –yang ia kisahkan dalam naskahnya— ternyata masih
terjadi di tahun yang sudah serba maju ini. Ini terbukti dengan adanya kesamaan
pergulatan batin pengarang antara Kepik dengan naskah Warta-nya (‘97)
dan Babe dengan naskah BROL-nya (’16), karena pada dasarnya, lahirnya
sebuah karya tidak terlepas dari fenomena sosial pada masanya, dan karya sastra
adalah potret kehidupan yang sebenarnya. Pemilik warung sastra Boenga Ketjil
ini berharap agar fenomena sosial seperti ini tidak terjadi lagi di tahun
berikutnya agar tidak ada lagi pengarang yang melahirkan naskah dengan kisah
yang sama: Penggusuran Kemanusiaan.
Imam Ghozali yang juga ikut serta dalam
sesi sarasehan, tidak mau ketinggalan untuk memberikan apresiasinya. Selain
mengkritisi teknik pemanggungan yang dirasa belum estetis dari segi
ke-detail-an, ketua kelompok teater Komunitas Tombo Ati ini juga
menilai bahwa kepenyutradaraan sutradara belum kuat. Ia menilai bahwa sutradara
belum memberikan solusi dalam pertunjukannya. Bagi pria yang berprofesi sebagai
dosen sastra dan guru SD ini, pertunjukan BROL hanyalah sebuah ‘sketsa’
karena hanya menampilkan fenomena sosial yang sudah diketahui banyak orang lalu
diangkat dalam sebuah pertunjukan teater, dan sutradara tidak memberikan gagasan
solusi di dalam penggarapan kisahnya. Padahal, penonton lebih membutuhkan
solusi itu, misalnya solusi bagaimana caranya agar penggusuran tidak terjadi kembali,
bagaimana kaum alit bisa hidup dengan aman dan tenang di tanah yang
serba diakui hak milik negara ini, atau solusi lainnya. Sehingga (setidaknya) melalui
gagasan solusi yang disuguhkan sutradara, ketika penonton selesai menonton sebuah
pertunjukan, mereka tidak hanya mengetahui dan merasakan permasalahan yang
dirasakan oleh batin tiap tokoh, tetapi juga memiliki kesadaran untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan menerapkannya di kehidupan nyata.
Apabila hal ini dapat dilakukan oleh sutradara, maka fungsi karya sastra
sebagai media hiburan (rekreasi) dan perenungan (kontemplasi) dapat muncul
dalam sebuah pertunjukan sebagaimana mestinya.
Terlepas dari beberapa apresiasi
di atas, setidaknya melalui pertunjukan BROL ini, TRC berhasil menjaga
antusias penonton teater di Jombang dengan suguhan pertunjukan yang segar dan
dapat diterima, mengembalikan spirit bersilaturahmi antarkelompok teater
kampus di beberapa kota, serta mampu mengekspresikan potret nasib yang dialami
oleh kaum alit tak ber-KTP yang tinggal di wilayah ilegal. Meski belum
ada gagasan solusi dalam pertunjukannya, setidaknya tiap penonton sudah
memiliki gambaran mengenai jawaban atas pertanyaan pada awal tulisan ini tentang
siapa sampah negara yang sesungguhnya, apakah mereka yang dianggap merusuhi
keindahan pembangunan kota karena hidup di ‘seenaknya’ tempat tanpa legalitas
yang jelas, ataukah mereka yang memimpin negera hanya untuk kepentingannya
sendiri tanpa menghiraukan kaum alit di bawahnya.
Komentar
Posting Komentar