CERPEN SEPOTONG TANGAN : ‘AJARAN TENTANG SEBUAH KESETIAAN’
NAMA
|
: Moh. Qowiyuddin Shofi
|
NIM
|
: 106.336
|
KELOMPOK
|
: 5 [Lima]
|
ANGKATAN/ KELAS
|
: 2010/ B
|
PRODI
|
: Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia
|
MATA KULIAH
|
: Kritik Sastra
|
DOSEN PENGAMPU
|
: Drs. Heru Subakti, M.M
|
CERPEN SEPOTONG TANGAN
‘AJARAN TENTANG SEBUAH KESETIAAN’
Oleh Moh. Qowiyuddin
Shofi
“Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya
sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca.”
(Pradopo, 1994)
Cerpen “Sepotong Tangan” karya Ratih
Kumala merupakan salah satu judul cerpen yang ada di dalam buku kumpulan cerpen
“20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008”. Sebuah cerpen yang juga mendapatkan
‘Anugerah Sastra Pena Kencana Tahun 2008’. Cerpen ini menceritakan tentang kesetiaan
seorang suami terhadap sang istri. Padahal si suami tersebut mengalami masa
pahit, yakni ia tidak bisa menjadi seorang ayah karena istrinya tidak dapat memberikan
keturunan. Namun, karena ketulusan cintanya, ia tetap tegar dan tetap setia
mencintai sang istri hingga masa tua datang. Disinilah ia mulai diuji. Sang
istri meninggal, yang secara otomatis menguras sejuta tetesan air mata dari
lelaki tersebut yang kini sudah tua. Ia menangis. Bingung. Hampa. Karena selama
ini ia merasa hidup karena sang istri. Ia tak tahu harus bagaimana. Yang ia
tahu, ia harus mengurusi jasat istrinya. Namun ia bingung. Dengan cara apa ia
mengurus jasat tersebut seorang diri. Akhirnya ia berfikir untuk mencari
pertolongan. Namun, lagi-lagi ia dibingungkan oleh keadaan. Keadaan yang sudah
menjadi kebiasaannya, yaitu ia tidak bisa pergi tanpa ditemani sang istri.
Akhirnya ia memutuskan memotong tangan sang istri sebagai tanda bahwa ia masih
ditemani sang istri. Sesampainya di rumah saudaranya untuk meminta pertolongan,
ia dikejutkan dengan hantaman yang membuatnya pingsan. Hal itu terjadi karena
saudaranya mengira bahwa ia telah melakukan sebuah pembunuhan sadis. Setelah
lelaki tua itu sadar, Ia sudah berada di kantor polisi dan sudah terdapat
banyak wartawan yang mengerumuninya untuk mengumpulkan data yang akan dijadikan
berita dalam koran kriminal. Dengan pelan dan masih dalam keadaan sedih, ia
memaparkan kronologis kejadian, serta ia mengklarifikasi bahwa tindakannya
bukanlah merupakan sebuah pembunuhan. Namun semua orang masih dibingungkan
dengan pemotongan tangan yang ia lakukan kepada istrinya. Hingga akhirnya gadis
kecil yang juga keponakannya bertanya padanya tentang kematian bibinya yang
meninggal karena diduga dibunuh oleh suaminya sendiri, lalu lelaki tua yang
masih dalam keadaan sedih tersebut menjawab,
"Aku tidak memotong tangannya
sebelum dia meninggal, Nak. Tak mungkin aku tega berbuat begitu. Aku sangat
mencintai bibimu. Aku memotongnya setelah dia meninggal. Karena aku ‘tak bisa
hidup tanpa dia, Nak. Aku ‘tak tahu apa yang harus kuperbuat tanpa dia. Aku
‘tak mungkin pergi cari bantuan dengan membawa mayatnya, terlalu berat untukku.
Maka aku memutuskan untuk membawa tangannya saja. Sebab, aku butuh kekuatan
dari perempuan yang sangat kucintai. Aku ingin menggenggam tangannya agar aku
kuat."
Ruangan henyap. Tak ada yang
berbicara, ‘tak terdengar mesin ketik berbunyi, ‘tak terdengar suara kamera
memotret. Keponakan kecil itu memandangi pamannya, lalu dengan spontan
mengucap,
"Jika aku punya suami kelak, aku
ingin yang seperti paman!"
Dalam ulasan ini penulis mengaji
cerpen “Sepotong Tangan” karya Ratih Kumala dengan menggunakan ‘Pendekaatan
Pragmatik’. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra
sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal
ini, tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama
maupun tujuan yang lain.
Selanjutnya, penulis menganalisis
cerpen “Sepotong Tangan” dengan cara menemukan tujuan-tujuan yang ingin
disampaikan penulis (Ratih Kumala) kepada pembaca. Adapaun tujuan yang ingin
disampaikan dalam cerpen ini berupa moral tentang ‘sebuah kesetiaan’. Semua itu
terlukiskan pada sosok lelaki tua yang menjadi suami yang setia pada sang istri
dalam cerpen “Sepotong Tangan”.
Ranjang adalah tempat favorit
keduanya. Tempat mereka ‘tak hanya tempat tidur, tetapi juga tempat panas saat
terbakar asmara pada malam-malam, siang-siang, pagi-pagi, dan sore-sore, hingga
saat tubuh keduanya ‘tak lagi perkasa dan ranjang menjadi dingin dan keduanya
memindahkan televisi ke dalam kamar sebagai hiburan juga tumpukan buku sebagai
bacaan. Di atas semua itu, ada satu yang tak pernah berubah, mereka ‘tak pernah
bosan berpegangan tangan. Ranjang bisa saja berubah dingin, sedingin ubin. Tapi
tangan mereka yang ‘tak lepas paut tetap membuat hati keduanya hangat.
(Cerpen Sepotong Tangan, paragraf 2)
Dari data di atas, tergambar
kesetiaan antara pasangan suami-istri, yakni mereka selalu memadu-kasih-kemesahan
sampai di usia tua. Jarang sekali mendapati pasangan seperti itu, karena
kebanyakan pasangan suami-istri pada umumnya hanya melakukan kemesrahan pada
masa-masa usia pernikahan masih muda hingga bertahan sekian tahun saja, setelah
itu kemesrahan hilang, hanya perselisihan yang selalu ada. Sangat jelas sekali
bahawa Ratih Kumala ingin menghimbau kepada semua pasangan suami-istri untuk
tetap menjalin kemesrahan dalam keadaan apapun dan usia berapapun.
Tiga puluh tujuh tahun, dan ‘tak satu
anak pun yang lahir dari rahim sang istri. Mereka sudah melewati tahun-tahun
saat perempuan tua itu mengutuki dirinya sendiri atas ketakkunjungan dirinya
berbadan dua. Ada saat sang istri tak hendak melepas genggaman suaminya,
mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Kekhawatirannya akan kemungkinan lelaki
itu berpaling ke perempuan yang lebih muda—dan lebih subur—sempat membuncah.
Toh lelaki itu tetap membiarkan istrinya menggenggam tangannya, membuat cincin
kawin keduanya beradu, menjadikan tangan mereka basah keringat, dan lelaki itu
justru lebih erat lagi menggenggam tangan istrinya. Tahun-tahun berlalu, mereka
sedikit demi sedikit mengubur impian purba mereka. Tak ada anak. Selanjutnya,
entah dari mana atau kapan atau bagaimana tepatnya, rumah mungil mereka telah
penuh dengan kucing. Padahal dulu, mereka selalu berpikir bahwa bulu kucing
‘tak baik bagi pernafasan anak. Kini kucing-kucing betah berkumpul di rumah
itu. Tak satu pun kucing yang datang diusir, semua bebas datang.
(Cerpen Sepotong Tangan, paragraf
3)
Dari data di atas, tergambar
kesetiaan seorang suami terhadap sang istri meski sang istri tersebut tak mampu
memberikan momongan. Padahal menjadi seorang ayah merupakan impian semua suami.
Bahkan tak jarang para suami menikah lagi demi mendapatkan keturunan karena
istri pertama tidak mampu memberikan anak. Namun hal tersebut ditolak oleh
Ratih Kumala dalam cerpennya, bahwa ia menginginkan sebuah kesetiaan harus
tetap ada dalam kondisi apapun. Tersirat dari cerpennya bahwa secara hakiki,
hubungan suami-istri tidak disimboliskan dengan adanya keturunan, namun dengan
adanya kesetiaan untuk saling menerima di segala macam keadaan.
"Aku tidak memotong tangannya
sebelum dia meninggal, Nak. Tak mungkin aku tega berbuat begitu. Aku sangat
mencintai bibimu. Aku memotongnya setelah dia meninggal."
"Kenapa dipotong?" tanyanya
lugu.
"Karena aku ‘tak bisa hidup
tanpa dia, Nak. Aku ‘tak tahu apa yang harus kuperbuat tanpa dia. Aku ‘tak
mungkin pergi cari bantuan dengan membawa mayatnya, terlalu berat untukku. Maka
aku memutuskan untuk membawa tangannya saja. Sebab, aku butuh kekuatan dari
perempuan yang sangat kucintai. Aku ingin menggenggam tangannya agar aku
kuat."
Ruangan henyap. Tak ada yang
berbicara, ‘tak terdengar mesin ketik berbunyi, ‘tak terdengar suara kamera
memotret. Keponakan kecil itu memandangi pamannya, lalu dengan spontan
mengucap, "Jika aku punya suami kelak, aku ingin yang seperti paman
!"
Ada jeda. Bisik beberapa suara hati
di ruangan itu, “Ya, aku ingin laki-lakiku memotong tanganku...”.
(Cerpen Sepotong Tangan, bagian
akhir cerita)
Dari data di atas, terdapat tindakan
kurang wajar yang dilakukan oleh sang suami, yakni memotong tangan sang istri.
Jika kita mengingat kembali bahwa sebuah karya sastra adalah bersifat multi-interpretation,
yakni kita mengartikan sebuah karya sastra tidak cukup dengan satu arti saja, melainkan
butuh beberapa arti untuk menemukan sebuah maksud atau tujuan dari penulis. Dari
hal di atas, interpretasi penulis mengatakan bahwa kejadian memotong tangan
adalah sebuah simbol kesetiaan seorang suami yang ditinggal oleh sang istri. Ia
memotong tangan istrinya digunakan sebagai tanda bahwa meski istrinya telah
tiada, ia akan tetap menganggap sang istri selalu disamping. Padahal banyak dari
para suami ketika ditinggal istrinya meninggal, mereka hanya menampakkan
kesedihan sesaat, setelah itu mereka menikah lagi. Namun dalam cerpen ini,
Ratih Kumala membuat kejadian demikian sebagai simbol bahwa lelaki tersebut
akan tetap selalu membawa istrinya kemanapun dan dimanapun meskipun istrinya
telah tiada. Semua itu dilakukan karena ia mencintai dan setia kepada sang
sitri.
Dengan
demikian, melalui pendekatan pragmatik yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, maka dapat kita ambil
sebuah pesan atau tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis yang terkandung
dalam cerpen “Sepotong Tangan” karya Ratih Kumala tersebut, bahwa sebuah
kesetiaan dalam hubungan suami-istri merupakan hal yang sangat penting. Saling
menjaga dan mencintai pasangan dalam keadaan apapun; suka-duka, kaya-miskin,
tawa-tangis; merupakan cara yang tepat untuk mengungkapkan rasa kesetiaan kita
terhadap pasangan walaupun ia sudah tiada.
Analisis cerpen Sepotong Tangan dari segi ukuran dalam
kritik sastra, kriteria keaslian ekspresi, nilai estetika dan nilai sastra
Sebenarnya sastra
merupakan penggambaran kehidupan yang dituangkan melalui media tulisan yang
mempunyai hubungan sangat erat antara sastra dan kehidupan, karena fungsi
sosial sastra adalah bagaimana ia melibatkan dirinya ditengah-tengah kehidupan
masyarakat. Ilmu sastra mempunyai tiga bagian atau tiga cabangnya, yaitu teori
sastra, sejarah sastra dan kritik sastra. Ketiga
disiplin sastra itu saling membantu. Misalnya dalam memberi penilaian sastra
kita membutuhkan teori sastra untuk penilaian. Sebaliknya teori sastra juga
memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyelidiki karya sastra
dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra,
bernilai seni atau tidak. Dibawah ini
merupakan cerpen Sepotong Tangan yang
akan dikaji dilihat dari struktur cerpen dan dikritisi dengan melihat
poin-poin yang sangat penting dalam mengkritisi yaitu ukuran
dalam kritik sastra, kriteria keaslian ekspresi, nilai
estetika dan nilai sastra dalam kritik sastra.
a.
Ukuran
Dalam Kritis Sastra Pada Cerpen Sepotong
Tangan
Karya sastra harus mempunyai
ukuran, norma atau cerita sebagai alat ukurnya. Ukuran, norma, atau kriteria
merupakan aturan, kaidah atau ketentuan yang dipakai sebagai tolak ukur untuk
menilai atau membandingkan suatu karya sastra. Tanpa memiliki ukuran, orang
tidak dapat melakukan kritik sastra, karena memberi pertimbangan dan keputusan
itu harus menggunakan ukuran atau kriteria. cerpen Sepotong Tangan dapat diukur dari ukuran norma, moral, susila dan
keagamaan karena dalam bentuk yang bertanggungjawab dan matang, artinya karya
itu disajikan dengan teknik yang halus dan bermutu sehingga ia tidak
menampilkan tokoh-tokoh yang hidup pada taraf normal yang menusuk ke hati atau
kesopanan manusia yang normal. Dalam cerpen ini banyak membahas tentang
kehidupan atau pengalaman hidup manusia dengan cara manusiawi, dan dalam karya
satra yang baik harus membahas tentang pengalaman hidup manusia dengan cara
bertanggung jawab dan penuh dedikasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
b.
Kriteria
Keaslian Ekspresi Pada Cerpen Sepotong
Tangan
Dalam kritik sastra juga mempunyai
keaslian dalam berekspresi. Kriteria ini menuntut karya sastra harus
menampilkan sesuatu yang baru, yang lebih segar, yang lain daripada yang
lainnya dan menampilkan semangat yang berbeda dari yang sudah-sudah, ciri
keaslian ekspresi juga ditunjukkan adanya kerumitan, ketegangan makna yang
dikandung karya sastra. cerpen Sepotong
Tangan memiliki banyak makna yang baru, dan memiliki kerumitan dalam
memaknai sebuah kehidupan.
c.
Nilai
Estetika Cerpen Sepotong Tangan
Cerpen Sepotong Tangan dapat dikatakan mempunyai nilai estetika karena karya tersebut
memiliki tiga kriteria yaitu:
a.
Mampu menghidupkan atau
memperbaharui pengetahuan pembaca, artinya dengan membaca karya sastra tersebut
kita dituntun untuk memberikan pandangan dan orientasi baru diantara
butir-butir yang terpisah-pisah dalam ingatan kita.
b.
Mampu menciptakan kehidupan kita
lebih baik dan lebih kaya, artinya karya tersebut memperlihatkan tata kehidupan
yang lebih baik dan maju sebagai pemancing atau spirit bagi pembaca untuk
bangkit dan bangun dari kondisi yang terarah yang lebih baik.
c.
Mampu membawa pembaca lebih akrab
dengan kebudayaannya, artinya karya sastra itu mengetengahkan keagungan budaya
sendiri dan dapat memancing pembaca untuk lebih dekat dan akrab, serta
mencintai kebudayaannya sendiri.
d.
Nikai
Sastra Pada Cerpen Sepotong Tangan
Cerpen Sepotong Tangan ini sudah jelas jika
memiliki nilai sastra karena dari cerpen ini kita bisa mengetahui kebenaran
kehidupan manusia yang memberikan pengetahuan baru kepada pembaca, kemudian cerpen
ini juga tidak terikat pada waktu dan tempat dan mempunyai makna yang
memberikan kenikmatan keindahan tersendiri bagi pembaca.
Hal ini
diperkuat oleh para pakar yang mengatakan bahwa karya sastra dikatakan
mempunyai nilai sastra apabila:
a. Merefleksikan
kebenaran manusia artinya karya sastra tersebut memberikan kita pengetahuan
yang lebih,
b. Tidak
terikat pada waktu dan tempat artinya karya sastra tersebut tidak lekang karena
panas dan tidak lapuk karena hujan,
c. Memberikan
kenikmatan dan rasa indah artinya memberikan kesenangan yang disebabkan karya
itu disusun dengan apik, selaras dan harmonis.
Komentar
Posting Komentar