ANALISIS PERUBAHAN BUNYI BAHASA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Semua manusia mempunyai kemampuan berbicara
atau bertutur, kecuali bagi seseorang yang mempunyai kekhususan, seperti: Tuna
Wicara atau Tuna Rungu. Kemampuan berbicara atau bertutur ini diperoleh secara
berjenjang sesuai dengan tingkatan usianya, yaitu sejak bayi, anak-anak,
remaja, dewasa, hingga tua. Pada setiap tingkatan tersebut
memiliki kemampuan berbicara yang berbeda-beda, misalnya pada tingkatan
anak-anak.
Anak-anak sering mengalami
kegagalan dalam membunyikan perkataan dengan benar. Hal itu dapat kita lihat
melalui ucapan anak itu pada saat ia mengucapkan sebuah teks bacaan yang ia
hafalkan.
Untuk itu penulis akan
melakukan penelitian terhadap sebuah teks bacaan pelajaran Bahasa Indonesia
kelas 3 SD yang dihafalkan oleh Alfin, seorang anak yang berumur sembilan
tahun.
B. Batasan Masalah
Agar makalah ini mudah
dipahami dan tidak meluas, maka dalam penelitian ini, penulis hanya membahas
masalah mengenai transkripsi fonetis teks bacaan yang diucapkan oleh seorang
anak berusia sembilan tahun yang bernama Alfin, transkripsi data yang sesuai
dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) atau sering disebut dengan transkripsi
ortografi, perubahan-perubahan bunyi yang dilakukan oleh anak tersebut, bunyi
pengiring yang mengikuti bunyi utama yang ia hasilkan, dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana transkripsi fonetis teks bacaan yang diucapkan oleh Alfin?
2.
Bagaimana transkripsi data sesuai Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(EYD)?
3.
Perubahan bunyi apa saja yang diucapkan oleh Alfin ketika menghafalkan
teks bacaan?
4.
Adakah bunyi pengiring yang dihasilkan saat bunyi utama diucapkan?
5.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengucapan teks bacaan oleh Alfin?
D. Tujuan
Tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai transkripsi fonetis teks
bacaan yang diucapkan oleh Alfin, seorang anak yang berusia sembilan tahun,
transkripsi data yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan
(EYD) atau transkripsi ortografi, perubahan-perubahan bunyi yang terjadi, bunyi
pengiring yang menyertai bunyi utama, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
E. Manfaat
Adapun manfaat dari
penulisan makalah ini adalah agar semua pihak dapat memahami dengan jelas
mengenai bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh anak usia sembilan tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Data
Makalah ini mengambil data
penelitian dari sebuah teks bacaan dalam pelajaran Bahsa Indonesia kelas 3 SD yang
dihafalkan oleh Alfin, seorang anak berusia sembilan tahun, karena mendapatkan
tugas hafalan dari guru. Adapun data-data yang dapat diambil dari hasil
penelitan yang penulis lakukan adalah mengenai teks bacaan yang dihafal,
transkripsi fonetis yang diucapkan oleh Alfin dan transkripsi ortografisnya.
Dimana data-data itu adalah sebagai berikut.
1. Teks Bacaan
Teks Bacaan
Ini Budi.
Budi adalah murid kelas 3 SD Taman
Ceria. Setiap hari dia berangkat ke sekolah memakai sepeda roda dua.
Rumahnya di JL. Flamboyan, nomor 19. Budi anak yang baik. Dia selalu
membantu kedua orang tuanya untuk membersihkan rumah dan menyapu lantai.
Budi adalah murid yang pintar. Setiap hari dia belajar dengan rajin dan
giat.
|
2.
Transkripsi Fonetis
No
|
Kata
|
Transkipsi
fonetis
|
No
|
Kata
|
Transkipsi
fonetis
|
1
|
Ini
|
[ini]
|
27
|
Baik
|
[bai?]
|
2
|
Budi
|
[budi]
|
28
|
Dia
|
[diya]
|
3
|
Budi
|
[budi]
|
29
|
Selalu
|
[shəlalu]
|
4
|
Adalah
|
[adalah]
|
30
|
Membantu
|
[məmbantu]
|
5
|
Murid
|
[murid]
|
31
|
Kedua
|
[kəduwa]
|
6
|
Kelas
|
[kəlash]
|
32
|
Orang tuanya
|
[oraɳ tuwaña]
|
7
|
3
|
[tiga]
|
33
|
Untuk
|
[untu?]
|
8
|
SD
|
[shəkolah
dashar]
|
34
|
Membersihkan
|
[məmbərshihkan]
|
9
|
Taman Ceria
|
[taman cəriya]
|
35
|
Rumah
|
[rumah]
|
10
|
Setiap
|
[tiyap]
|
36
|
Dan
|
[dan]
|
11
|
Hari
|
[hari]
|
37
|
Menyapu
|
[məñapu]
|
12
|
Dia
|
[diya]
|
38
|
Lantai
|
[lante]
|
13
|
Berangkat
|
[bəraɳkat]
|
39
|
Budi
|
[budi]
|
14
|
Ke
|
[kə]
|
40
|
Adalah
|
[adalah]
|
15
|
Sekolah
|
[shəkolah]
|
41
|
Murid
|
[murid]
|
16
|
Memakai
|
[məmake]
|
42
|
Yang
|
[yaɳ]
|
17
|
Sepeda
|
[pEda]
|
43
|
Pintar
|
[pintar]
|
18
|
Roda dua
|
[rOda duwa]
|
44
|
Setiap
|
[tiyap]
|
19
|
Rumahnya
|
[rumahña]
|
45
|
Hari
|
[hari]
|
20
|
Di jalan
|
[di jalan]
|
46
|
Dia
|
[diya]
|
21
|
Flamboyan
|
[fəlamboyan]
|
47
|
Belajar
|
[bəlajar]
|
22
|
Nomor
|
[nomər]
|
48
|
Dengan
|
[dəngan]
|
23
|
19
|
[shəmbilan
bəlash]
|
49
|
Rajin
|
[rajin]
|
24
|
Budi
|
[budi]
|
50
|
Dan
|
[dan]
|
25
|
Anak
|
[ana?]
|
51
|
Giat
|
[giyat]
|
26
|
Yang
|
[yaɳ]
|
|
|
|
3.
Transkripsi Ortografis
No
|
Kata
|
Transkipsi Ortografis
|
No
|
Kata
|
Transkipsi Ortografis
|
1
|
Ini
|
Ini
|
27
|
Baik
|
Baik
|
2
|
Budi
|
Budi
|
28
|
Dia
|
Dia
|
3
|
Budi
|
Budi
|
29
|
Selalu
|
Selalu
|
4
|
Adalah
|
Adalah
|
30
|
Membantu
|
Membantu
|
5
|
Murid
|
Murid
|
31
|
Kedua
|
Kedua
|
6
|
Kelas
|
Kelas
|
32
|
Orang tuanya
|
Orang tuanya
|
7
|
3
|
Tiga
|
33
|
Untuk
|
Untuk
|
8
|
SD
|
Sekolah Dasar
|
34
|
Membersihkan
|
Membersihkan
|
9
|
Taman Ceria
|
Taman Ceria
|
35
|
Rumah
|
Rumah
|
10
|
Setiap
|
Setiap
|
36
|
Dan
|
Dan
|
11
|
Hari
|
Hari
|
37
|
Menyapu
|
Menyapu
|
12
|
Dia
|
Dia
|
38
|
Lantai
|
Lantai
|
13
|
Berangkat
|
Berangkat
|
39
|
Budi
|
Budi
|
14
|
Ke
|
Ke
|
40
|
Adalah
|
Adalah
|
15
|
Sekolah
|
Sekolah
|
41
|
Murid
|
Murid
|
16
|
Memakai
|
Memakai
|
42
|
Yang
|
Yang
|
17
|
Sepeda
|
Sepeda
|
43
|
Pintar
|
Pintar
|
18
|
Roda dua
|
Roda dua
|
44
|
Setiap
|
Setiap
|
19
|
Rumahnya
|
Rumahnya
|
45
|
Hari
|
Hari
|
20
|
Di jalan
|
Di jalan
|
46
|
Dia
|
Dia
|
21
|
Flamboyan
|
Flamboyan
|
47
|
Belajar
|
Belajar
|
22
|
Nomor
|
Nomor
|
48
|
Dengan
|
Dengan
|
23
|
19
|
Sembilan
belas
|
49
|
Rajin
|
Rajin
|
24
|
Budi
|
Budi
|
50
|
Dan
|
Dan
|
25
|
Anak
|
Anak
|
51
|
Giat
|
Giat
|
26
|
Yang
|
Yang
|
|
|
|
B. Landasan Teori
1. Transkipsi
Transkripsi fonetis adalah
perekaman bunyi dalam bentuk lambang tulis. Lambang bunyi atau lambang fonetis
yang dipakai adalah lambang bunyi yang di tetapkan oleh The International
Phonethic Assosiation (IPA). Sedangkan transkripsi ortografi adalah transkripsi
atau tulisan yang dibuat untuk digunakan secara umum di dalam masyarakat suatu
bahasa. Di Indonesia, transkripsi ortografi ini harus sesuai dengan kaidah EYD
(Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan) (Chaer, 2007; 112-114 ).
2. Perubahan Bunyi
Muhlish (2008; 42) mengatakan kasus pengucapan bunyi yang tidak sesuai dengan EYD
memang sering sekali terjadi di masyarakat. Adapun jenis-jenis dari perubahan
bunyi tersebut adalah Asimilasi, Disimilasi, Modifikasi Vokal, Netralisasi,
Zeroisasi, Metatesis, Diftongisasi, Monoftongisasi, dan Anaptiksis.
a)
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama
menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena
bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk
saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Contoh: Kata bahasa Inggris top diucapkan
[tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal
pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal.
Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau
diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama
lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang
mengasimilasikan disebut asimilasi progresif.
b)
Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau
mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contoh: Kata bahasa Indonesia
belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar
ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar]
Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau
didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan
tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/
dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
c)
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari
pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan
ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka
perlu disendirikan. Contoh: Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan
[toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan
[tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata
kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena
vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan
menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu
fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis.
Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu.
d) Netralisasi adalah
perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh dari lingkungan. Contoh: Kata
nomor menjadi nomər. Perubahan bunyi nomor menjadi nomər ini dikarenakan
pengaruh oleh bahasa sehari-hari orang Jawa, dimana kata nomor dalam bahasa
Indonesia hampir sama dengan kata nomər dalam bahasa Jawa, dan keduanya
memiliki makna yang sama.
e)
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya
penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada
penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak
mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena
secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya.
Contoh: Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak
untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi.
Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh
tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan,
gejala itu terus berlangsung.
f)
Metatesis
adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua
bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami
metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Contoh: Kerikil menjadi
kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras.
g)
Diftongisasi
adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau
vokal rangkap (diftong). Contoh: Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta],
sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal
tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi
puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka
pemurnian bunyi pada kata tersebut.
h)
Monoftongisasi adalah perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap
(diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Contoh: Kata ramai [ramai]
diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada
bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e].
i)
Anaptiksis adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan dua vokal
tertentu diantara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa
ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Contoh: Putra menjadi putera, putri
menjadi puteri, bahtra menjadi bahtera, srigala menjadi serigala, slokan
menjadi selokan.
3. Bunyi Pengiring
Bunyi pengiring adalah
bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan. Hal ini disebabkan
oleh ikut sertanya alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.
Bunyi sertaan atau
pengiring ini dapat di kelomokkan menjadi sembilan macam, yakni: bunyi ajektif,
bunyi klik, bunyi aspirasi, bunyi eksplosif, bunyi retrofliksi, bunyi
labialisasi, bunyi palatalisasi, bunyi glotalisasi dan bunyi nasalisasi.
C. Pembahasan
1.
Analisis Data
Bunyi ujaran yang kita
ucapkan dan kita dengar sebenarnya sangat banyak dan bermacam-macam. Pada
umumnya kita dapat membedakan bunyi ujaran pria dan bunyi ujaran wanita, bunyi
ujaran orang dewasa dengan anak-anak, bahkan kita sering dapat mengetahui siapa
yang berbicara hanya dengan mendengar suaranya. Semua itu memperlihatkan bahwa
bunyi ujaran yang yang diucapkan para penutur bahasa berbeda-beda.
Orang awam pada umunya
tidak mendengar pergeseran-pergeseran kecil dalam pengucapan bunyi ujarannya
sendiri maupun bunyi ujaran orang lain. Ia dibiasakan hanya memperlihatkan
perbedaan bunyi fungsional, yang dalam bahasanya penting untuk membedakan
makna. Tetapi dalam penelitian ini, setelah kita melihat data-data yang ada,
kita dapat melihat bahwa dalam pengucapan teks bacaan yang dihafalkan
oleh Alfin terdapat beberapa perubahan bunyi, terjadinya bunyi pengiring yang
dilakukannya serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
a. Perubahan Bunyi
Perubahan bunyi yang dilakukan oleh Alfin itu
terdiri dari empat jenis, yakni Zeroisasi, Monoftongisasi, Anaptaksis, dan Netralisasi.
a.1.
Zeroisasi
Peristiwa zeroisasi yang
diucapkan oleh Alfin terjadi pada kata sətiyap menjadi tiyap
di baris pertama dan kelima. Dimana hal itu di tandai dengan
menghilangnya bunyi fonemis [sə] pada awal kata sətiyap menjadi
kata tiyap.
Sətiyap à Tiyap
Peristiwa zeroisasi yang
diucapkan oleh Alfin terjadi lagi di baris kedua pada kata səpEda
menjadi pEda. Dimana hal itu di tandai dengan menghilangnya bunyi
fonemis [sə] pada awal kata sepeda menjadi kata pEda.
SəpEda
à PEda
a.2. Monoftongisasi
Peristiwa monoftongisasi
terjadi pada kata məmakai di baris kedua, menjadi məmake oleh Alfin.
Dimana hal itu ditandai oleh perubahan bunyi diftong ’ai’ pada posisi akhir
kata menjadi monoftong ’e’, sehingga kata itu berubah dari kata məmakai menjadi
məmake.
Məmakai
à Məmake
Peristiwa monoftongisasi oleh
Alfin kembali terjadi pada kata lantai di baris keempat, menjadi lante.
Dimana hal itu juga ditandai oleh perubahan bunyi diftong ’ai’ pada posisi akhir
kata menjadi monoftong ’e’, sehingga kata itu berubah dari kata lantai menjadi lante.
Lantai
à Lante
Peristiwa penunggalan vokal ini memang banyak
terjadi dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tetapi orang dewasa juga sering melakukan perubahan bunyi tersebut. Hal itu
biasanya dilakukan, dengan tujuan untuk memudahkan pengucapan bunyi-bunyi vokal
rangkap (diftong).
a.3. Anaptaksis
Perubahan bunyi anaptiksis
terjadi pada kata Flamboyan di baris ketiga menjadi Fəlamboyan.
Adapun perubahan bunyi Flamboyan
dengan jalan menambahkan bunyi vokal [ə] pada tengah kata Flamboyan adalah
untuk memperlancar ucapan agar lebih mudah dalam mengucapkan suatu bunyi.
Flamboyan à Fəlamboyan
a.4. Netralisasi
Selain itu, terjadi pula
peristiwa netralisasi. Dimana hal itu di lakukannya pada kata nomor di baris
ketiga menjadi nomәr. Dimana dalam kasus ini terjadi perubahan bunyi [o] menjadi bunyi [ə].
Nomor à Nomər
Perubahan-perubahan bunyi
tersebut dilakukannya sebagai akibat dari pengaruh lingkungannya yang sering
melafalkan kata nomor menjadi nomәr, karena di pengaruhi oleh
bahasa sehari-harinya yang menggunakan bahasa Jawa. Dimana kata nomor
dalam bahasa Indonesia hampir sama dengan kata ”nomәr” dalam bahasa Jawa, dan keduanya memiliki makna yang sama.
b.
Bunyi Pengiring
Ketika Alfin mengucapkan teks bacaan dengan
cara menghafalkan, terdengar beberapa kata yang diucapkan oleh Alfin, bunyi
utamanya diiringi oleh bunyi pengiring. Bunyi pengiring itu timbul pada saat ia
membunyikan bunyi utama dalam kata kəlas, sekolah, səlalu, Səkolah Dasar, məmbərsihkan,
dan səmbilan bəlas, sehingga kat-kata
itu terdengar menjadi kəlash, shekolah, shəlalu, Shəkolah
Dashar, məmbərshihkan,
dan shəmbilan bəlash.
Bunyi pengiring [h] pada pelafalan
tersebut, termasuk kedalam kelompok bunyi aspirasi. Dimana bunyi itu
dihasilkan sebagai akibat arus udara yang keluar lewat mulutnya terlalu keras.
Bunyi pengiring ini terkadang terjadi secara
ilmiah oleh seseorang, termasuk Alfin. Sebagai akibat adanya keikutsertaan
alat-alat ucap lain, ketika alat ucap pertama dibunyikan. Adapun kemungkinan
lain terjadinya bunyi pengiring ini adalah Alfin kesulitan membunyikan bunyi
[s], sehingga ia menumpuh jalan dengan menyisipkan bunyi [h], agar
bunyi [s] tersebut dapat mudah ia ucapkan.
c.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Sesungguhnya kesalahan pengucapan bunyi yang
dilakukan oleh Alfin itu dapat hilang, setelah ia menempuh beberapa tahap
perkembangan bahasa, dan tahap perkembangan bahasa itu dapat berjalan seiring
dengan usianya yang bertambah..
Setiap orang memang mengalami perkembangan
bahasa secara berbeda-beda, termasuk Alfin. Hal itu terjadi karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor berikut:
c.1.
Faktor Biologi
Beberapa aspek yang penting dalam membahas
faktor biologis yang menentukan perkembangan bahasa diantaranya: evolusi
biologis, ikatan biologis, peranan otak, bahasa binatang dan masa kritis
belajar bahasa.
c.1.1.
Evolusi Biologis
Santrock dan Yussen
(1992) menegaskan bahwa anak-anak manusia dilahirkan tidak seperti burung yang
datang ke dunia secara biologis sudah siap menyanyikan lagu-lagu sesuai
jenisnya.
Para ahli percaya bahwa evolusi biologis
membentuk manusia ke dalam makhluk linguistik. Berkenaan dengan evolusi
biologis, otak, sistem syaraf dan sistem vokal berubah selama beratus-ratus
ribu tahun. Diperkirakan manusia mendapat bahasa bervariasi selama beribu-ribu
tahun yang lalu dari sekitar 20.000 sampai 70.000 tahun yang lalu, kemudian
bahasa adalah suatu pemerolehan yang selalu baru terjadi.
c.1.2.
Ikatan Biologis
Linguist Noam Chomsky (Santrock
and Yussen; 1992) percaya bahwa manusia itu terikat secara biologis untuk
belajar bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara tertentu pula.
Selanjutnya ditegaskan bahwa anak-anak itu dilahirkan ke dunia dilengkapi
dengan alat pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device / LAD) yaitu
ikatan biologis yang memungkinkan anak mendeteksi kategori bahasa tertentu. LAD
adalah suatu kemampuan gramatikal yang dibawa sejak lahir yang mendasari semua
bahasa manusia.
c.1.3.
Peranan Otak Dalam Perkembangan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian Grazzaniaga
dan Sepry (Santrock and Yussen; 1992) bahwa proses bahasa itu
dikontrol oleh belahan otak bagian kiri. Berdasarkan hasil studi bahasa pada
individu yang mengalami gangguan pada otaknya telah diidentifikasikan pada dua
bidang belahan otak kiri yang mengalami kondisi kritis.
c.1.4.
Apakah Binatang Memiliki Bahasa
Peranan bahasa dalam evaluasi manusia telah
berhasil merangsang para ahli psikologi memikirkan tentang kemungkinan binatang
memiliki bahasa. Pada kenyataan tidaklah diragukan bahwa beberapa spesies
binatang mempunyai sistem komunikasi yang menakjubkan dan sederhana.
Komunikasinya adalah adaftif dalam memberikan tanda bahaya, makanan dan
kebutuhan seksual.
c.1.5.
Periode Krisis Belajar Bahasa
Berdasarkan pengalaman Henry Kissinger
bahwa masa yang sangat peka untuk belajar dan mengembangkan fonologi dan dialek
adalah pada sebelum usia 12 tahun.
Berdasarkan hasil temuan-temuan bahwa bahasa
harus digerakkan melalui belajar dan waktu yang efektif untuk pengembangan
bahasa adalah pada usia dini.
c.2.
Faktor Sosiokultural dan Lingkungan
Peranan biologis dalam perkembangan bahasa
memang sangat kuat, tetapi aspek yang sangat penting dalam pengembangan bahasa
manusia pengaruh dari lingkungan. Karena dari lingkungan itu seseorang dapat
mengembangkan tentang kemampuan bahasanya. Tetapi perkembangan bahasanya itu
pun disesuaikan dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungannya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam sebuah teks bacaan yang diucapkan oleh
anak berusia sembilan tahun yaitu Alfin, terjadi empat macam perubahan bunyi
yakni Monoftongisasi, Zeroisasi, Monoftongisasi, Anaptaksis, dan Netralisasi.
Namun perubahan-perubahannya bunyi yang ia lakukan masih tergolong dalam
lingkup perubahan fonetis, karena perubahan yang ia lakukan tidak sampai
membedakan makna atau mengubah identitas fonem. Maka bunyi-bunyi tersebut masih
merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama.
Selain itu, bunyi pengiring yang terdengar
dalam pengucapannya, semata-mata hanyalah cara yang ia tempuh agar
mempermudah ia dalam mengucapkan bunyi [s].
Jadi, kesalahan pengucapan bunyi yang dilakukan
oleh Alfin masih dalam batas kewajaran, mengingat usianya yang baru sembilan
tahun. Dimana pada usia tersebut kemampuan sistem tuturnya masih belum sempurna
serta pengetahuan bahasanya masih dipengaruhi oleh lingkungan yang berada di
sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ithasartika91.blogspot.com/2011/05/analisis-perubahan-bunyi-pada-pelafalan.html.
9-07-2011. 05:55.
http://www.docstoc.com/docs/70888685/FAKTOR-USIA-YANG-MEMPENGARUHI-PEMEROLEHAN-BAHASA.
9-07-2011. 06:12.
Ratna Dewi, Wendi Widya. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia.
Klaten: PT. INTAN Pariwara.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa
Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran
Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
Komentar
Posting Komentar