ANALISIS PERUBAHAN BUNYI BAHASA



BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua manusia mempunyai kemampuan berbicara atau bertutur, kecuali bagi seseorang yang mempunyai kekhususan, seperti: Tuna Wicara atau Tuna Rungu. Kemampuan berbicara atau bertutur ini diperoleh secara berjenjang sesuai dengan tingkatan usianya, yaitu sejak bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Pada setiap tingkatan tersebut memiliki kemampuan berbicara yang berbeda-beda, misalnya pada tingkatan anak-anak.
Anak-anak sering mengalami kegagalan dalam membunyikan perkataan dengan benar. Hal itu dapat kita lihat melalui ucapan anak itu pada saat ia mengucapkan sebuah teks bacaan yang ia hafalkan.
Untuk itu penulis akan melakukan penelitian terhadap sebuah teks bacaan pelajaran Bahasa Indonesia kelas 3 SD yang dihafalkan oleh Alfin, seorang anak yang berumur sembilan tahun.
B. Batasan Masalah
Agar makalah ini mudah dipahami dan tidak meluas, maka dalam penelitian ini, penulis hanya membahas masalah mengenai transkripsi fonetis teks bacaan yang diucapkan oleh seorang anak berusia sembilan tahun yang bernama Alfin, transkripsi data yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) atau sering disebut dengan transkripsi ortografi, perubahan-perubahan bunyi yang dilakukan oleh anak tersebut, bunyi pengiring yang mengikuti bunyi utama yang ia hasilkan, dan  faktor-faktor yang mempengaruhinya.



C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Bagaimana transkripsi fonetis teks bacaan yang diucapkan oleh Alfin?
2.    Bagaimana transkripsi data sesuai Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)?
3.    Perubahan bunyi apa saja yang diucapkan  oleh Alfin ketika menghafalkan teks bacaan?
4.    Adakah bunyi pengiring yang dihasilkan saat bunyi utama diucapkan?
5.    Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengucapan teks bacaan oleh Alfin?
D. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan penjelasan mengenai transkripsi fonetis teks bacaan yang diucapkan oleh Alfin, seorang anak yang berusia sembilan tahun, transkripsi data yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) atau transkripsi ortografi, perubahan-perubahan bunyi yang terjadi, bunyi pengiring yang menyertai bunyi utama, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
E. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar semua pihak dapat memahami dengan jelas mengenai bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh anak usia sembilan tahun.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Data
Makalah ini mengambil data penelitian dari sebuah teks bacaan dalam pelajaran Bahsa Indonesia kelas 3 SD yang dihafalkan oleh Alfin, seorang anak berusia sembilan tahun, karena mendapatkan tugas hafalan dari guru. Adapun data-data yang dapat diambil dari hasil penelitan yang penulis lakukan adalah mengenai teks bacaan yang dihafal, transkripsi fonetis yang diucapkan oleh Alfin dan transkripsi ortografisnya. Dimana data-data itu adalah sebagai berikut.
1. Teks Bacaan
Teks Bacaan
Ini Budi. Budi adalah  murid kelas 3 SD Taman Ceria. Setiap hari dia berangkat ke sekolah memakai sepeda roda dua. Rumahnya di JL. Flamboyan, nomor 19. Budi anak yang baik. Dia selalu membantu kedua orang tuanya untuk membersihkan rumah dan menyapu lantai. Budi adalah murid yang pintar. Setiap hari dia belajar dengan rajin dan giat.
 







2. Transkripsi Fonetis
No
Kata
Transkipsi fonetis
No
Kata
Transkipsi fonetis
1
Ini
[ini]
27
Baik
[bai?]
2
Budi
[budi]
28
Dia
[diya]
3
Budi
[budi]
29
Selalu
[shəlalu]
4
Adalah
[adalah]
30
Membantu
[məmbantu]
5
Murid
[murid]
31
Kedua
[kəduwa]
6
Kelas
[kəlash]
32
Orang tuanya
[oraɳ tuwaña]
7
3
[tiga]
33
Untuk
[untu?]
8
SD
[shəkolah dashar]
34
Membersihkan
[məmbərshihkan]
9
Taman Ceria
[taman cəriya]
35
Rumah
[rumah]
10
Setiap
[tiyap]
36
Dan
[dan]
11
Hari
[hari]
37
Menyapu
[məñapu]
12
Dia
[diya]
38
Lantai
[lante]
13
Berangkat
[bəraɳkat]
39
Budi
[budi]
14
Ke
[kə]
40
Adalah
[adalah]
15
Sekolah
[shəkolah]
41
Murid
[murid]
16
Memakai
[məmake]
42
Yang
[yaɳ]
17
Sepeda
[pEda]
43
Pintar
[pintar]
18
Roda dua
[rOda duwa]
44
Setiap
[tiyap]
19
Rumahnya
[rumahña]
45
Hari
[hari]
20
Di jalan
[di jalan]
46
Dia
[diya]
21
Flamboyan
[fəlamboyan]
47
Belajar
[bəlajar]
22
Nomor
[nomər]
48
Dengan
[dəngan]
23
19
[shəmbilan bəlash]
49
Rajin
[rajin]
24
Budi
[budi]
50
Dan
[dan]
25
Anak
[ana?]
51
Giat
[giyat]
26
Yang
[yaɳ]




3. Transkripsi Ortografis
No
Kata
Transkipsi Ortografis
No
Kata
Transkipsi Ortografis
1
Ini
Ini
27
Baik
Baik
2
Budi
Budi
28
Dia
Dia
3
Budi
Budi
29
Selalu
Selalu
4
Adalah
Adalah
30
Membantu
Membantu
5
Murid
Murid
31
Kedua
Kedua
6
Kelas
Kelas
32
Orang tuanya
Orang tuanya
7
3
Tiga
33
Untuk
Untuk
8
SD
Sekolah Dasar
34
Membersihkan
Membersihkan
9
Taman Ceria
Taman Ceria
35
Rumah
Rumah
10
Setiap
Setiap
36
Dan
Dan
11
Hari
Hari
37
Menyapu
Menyapu
12
Dia
Dia
38
Lantai
Lantai
13
Berangkat
Berangkat
39
Budi
Budi
14
Ke
Ke
40
Adalah
Adalah
15
Sekolah
Sekolah
41
Murid
Murid
16
Memakai
Memakai
42
Yang
Yang
17
Sepeda
Sepeda
43
Pintar
Pintar
18
Roda dua
Roda dua
44
Setiap
Setiap
19
Rumahnya
Rumahnya
45
Hari
Hari
20
Di jalan
Di jalan
46
Dia
Dia
21
Flamboyan
Flamboyan
47
Belajar
Belajar
22
Nomor
Nomor
48
Dengan
Dengan
23
19
Sembilan belas
49
Rajin
Rajin
24
Budi
Budi
50
Dan
Dan
25
Anak
Anak
51
Giat
Giat
26
Yang
Yang




B. Landasan Teori
1. Transkipsi
Transkripsi fonetis adalah perekaman bunyi dalam bentuk lambang tulis. Lambang bunyi atau lambang fonetis yang dipakai adalah lambang bunyi yang di tetapkan oleh The International Phonethic Assosiation (IPA). Sedangkan transkripsi ortografi adalah transkripsi atau tulisan yang dibuat untuk digunakan secara umum di dalam masyarakat suatu bahasa. Di Indonesia, transkripsi ortografi ini harus sesuai dengan kaidah EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan) (Chaer, 2007; 112-114 ).
2. Perubahan Bunyi
Muhlish (2008; 42) mengatakan kasus pengucapan bunyi yang tidak sesuai dengan EYD memang sering sekali terjadi di masyarakat. Adapun jenis-jenis dari perubahan bunyi tersebut adalah Asimilasi, Disimilasi, Modifikasi Vokal, Netralisasi, Zeroisasi, Metatesis, Diftongisasi, Monoftongisasi, dan Anaptiksis.
a)        Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi. Contoh: Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif.

b)        Disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contoh: Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.

c)        Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan. Contoh: Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu.

d)       Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh dari lingkungan. Contoh: Kata nomor menjadi nomər. Perubahan bunyi nomor menjadi nomər ini dikarenakan pengaruh oleh bahasa sehari-hari orang Jawa, dimana kata nomor dalam bahasa Indonesia hampir sama dengan kata nomər dalam bahasa Jawa, dan keduanya memiliki makna yang sama.

e)        Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya. Contoh: Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.

f)         Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Contoh: Kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras.

g)        Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong). Contoh: Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut.

h)        Monoftongisasi adalah perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Contoh: Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e].

i)          Anaptiksis adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan dua vokal tertentu diantara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Contoh: Putra menjadi putera, putri menjadi puteri, bahtra menjadi bahtera, srigala menjadi serigala, slokan menjadi selokan.
3. Bunyi Pengiring
Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat ucap lain ketika alat ucap pembentuk bunyi utama difungsikan.
Bunyi sertaan atau pengiring ini dapat di kelomokkan menjadi sembilan macam, yakni: bunyi ajektif, bunyi klik, bunyi aspirasi, bunyi eksplosif, bunyi retrofliksi, bunyi labialisasi, bunyi palatalisasi, bunyi glotalisasi dan bunyi nasalisasi.
C. Pembahasan
1. Analisis Data
Bunyi ujaran yang kita ucapkan dan kita dengar sebenarnya sangat banyak dan bermacam-macam. Pada umumnya kita dapat membedakan bunyi ujaran pria dan bunyi ujaran wanita, bunyi ujaran orang dewasa dengan anak-anak, bahkan kita sering dapat mengetahui siapa yang berbicara hanya dengan mendengar suaranya. Semua itu memperlihatkan bahwa bunyi ujaran yang yang diucapkan para penutur bahasa berbeda-beda.
Orang awam pada umunya tidak mendengar pergeseran-pergeseran kecil dalam pengucapan bunyi ujarannya sendiri maupun bunyi ujaran orang lain. Ia dibiasakan hanya memperlihatkan perbedaan bunyi fungsional, yang dalam bahasanya penting untuk membedakan makna. Tetapi dalam penelitian ini, setelah kita melihat data-data yang ada, kita  dapat melihat bahwa dalam pengucapan teks bacaan yang dihafalkan oleh Alfin terdapat beberapa perubahan bunyi, terjadinya bunyi pengiring yang dilakukannya serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
a. Perubahan Bunyi
Perubahan bunyi yang dilakukan oleh Alfin itu terdiri dari empat jenis, yakni Zeroisasi, Monoftongisasi, Anaptaksis, dan Netralisasi.
a.1. Zeroisasi
Peristiwa zeroisasi yang diucapkan oleh Alfin terjadi pada kata sətiyap menjadi tiyap di baris pertama dan kelima. Dimana hal itu di tandai dengan menghilangnya bunyi fonemis [sə] pada awal kata sətiyap menjadi kata tiyap.
Sətiyap à Tiyap
Peristiwa zeroisasi yang diucapkan oleh Alfin terjadi lagi di baris kedua pada kata səpEda menjadi pEda. Dimana hal itu di tandai dengan menghilangnya bunyi fonemis [sə] pada awal kata sepeda menjadi kata pEda.
SəpEda à PEda


a.2. Monoftongisasi
Peristiwa monoftongisasi terjadi pada kata məmakai di baris kedua, menjadi məmake oleh Alfin. Dimana hal itu ditandai oleh perubahan bunyi diftong ’ai’ pada posisi akhir kata menjadi monoftong ’e’, sehingga kata itu berubah dari kata məmakai menjadi məmake.
Məmakai à Məmake
Peristiwa monoftongisasi oleh Alfin kembali terjadi pada kata lantai di baris keempat, menjadi lante. Dimana hal itu juga ditandai oleh perubahan bunyi diftong ’ai’ pada posisi akhir kata menjadi monoftong ’e’, sehingga kata itu berubah dari kata lantai menjadi lante.
Lantai à Lante
Peristiwa penunggalan vokal ini memang banyak terjadi dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tetapi orang dewasa juga sering melakukan perubahan bunyi tersebut. Hal itu biasanya dilakukan, dengan tujuan untuk memudahkan pengucapan bunyi-bunyi vokal rangkap (diftong).
a.3. Anaptaksis
Perubahan bunyi anaptiksis terjadi pada kata Flamboyan di baris ketiga menjadi Fəlamboyan.
Adapun perubahan bunyi Flamboyan dengan jalan menambahkan bunyi vokal [ə] pada tengah kata Flamboyan adalah untuk memperlancar ucapan agar lebih mudah dalam mengucapkan suatu bunyi.
Flamboyan à Fəlamboyan

a.4. Netralisasi
Selain itu, terjadi pula peristiwa netralisasi. Dimana hal itu di lakukannya pada kata nomor di baris ketiga menjadi nomәr. Dimana dalam kasus ini terjadi perubahan bunyi [o] menjadi bunyi [ə].
Nomor à Nomər
Perubahan-perubahan bunyi tersebut dilakukannya sebagai akibat dari pengaruh lingkungannya yang sering melafalkan kata nomor menjadi nomәr, karena di pengaruhi oleh bahasa sehari-harinya yang menggunakan bahasa Jawa. Dimana kata nomor dalam bahasa Indonesia hampir sama dengan kata ”nomәr” dalam bahasa Jawa, dan keduanya memiliki makna yang sama.
b. Bunyi Pengiring
Ketika Alfin mengucapkan teks bacaan dengan cara menghafalkan, terdengar beberapa kata yang diucapkan oleh Alfin, bunyi utamanya diiringi oleh bunyi pengiring. Bunyi pengiring itu timbul pada saat ia membunyikan bunyi utama dalam kata kəlas, sekolah, səlalu, Səkolah Dasar, məmbərsihkan, dan səmbilan bəlas, sehingga kat-kata itu terdengar menjadi kəlash, shekolah, shəlalu, Shəkolah Dashar, məmbərshihkan, dan shəmbilan bəlash.
Bunyi pengiring [h] pada pelafalan tersebut, termasuk kedalam kelompok bunyi aspirasi. Dimana bunyi itu dihasilkan sebagai akibat arus udara yang keluar lewat mulutnya terlalu keras.
Bunyi pengiring ini terkadang terjadi secara ilmiah oleh seseorang, termasuk Alfin. Sebagai akibat adanya keikutsertaan alat-alat ucap lain, ketika alat ucap pertama dibunyikan. Adapun kemungkinan lain terjadinya bunyi pengiring ini adalah Alfin kesulitan membunyikan bunyi [s], sehingga ia menumpuh jalan dengan menyisipkan bunyi [h], agar bunyi [s] tersebut dapat mudah ia ucapkan.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Sesungguhnya kesalahan pengucapan bunyi yang dilakukan oleh Alfin itu dapat hilang, setelah ia menempuh beberapa tahap perkembangan bahasa, dan tahap perkembangan bahasa itu dapat berjalan seiring dengan usianya yang  bertambah..
Setiap orang memang mengalami perkembangan bahasa secara berbeda-beda, termasuk Alfin. Hal itu terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
c.1. Faktor Biologi
Beberapa aspek yang penting dalam membahas faktor biologis yang menentukan perkembangan bahasa diantaranya: evolusi biologis, ikatan biologis, peranan otak, bahasa binatang dan masa kritis belajar bahasa.
c.1.1. Evolusi Biologis
Santrock dan Yussen (1992) menegaskan bahwa anak-anak manusia dilahirkan tidak seperti burung yang datang ke dunia secara biologis sudah siap menyanyikan lagu-lagu sesuai jenisnya.
Para ahli percaya bahwa evolusi biologis membentuk manusia ke dalam makhluk linguistik. Berkenaan dengan evolusi biologis, otak, sistem syaraf dan sistem vokal berubah selama beratus-ratus ribu tahun. Diperkirakan manusia mendapat bahasa bervariasi selama beribu-ribu tahun yang lalu dari sekitar 20.000 sampai 70.000 tahun yang lalu, kemudian bahasa adalah suatu pemerolehan yang selalu baru terjadi.


c.1.2. Ikatan Biologis
Linguist Noam Chomsky (Santrock and Yussen; 1992) percaya bahwa manusia itu terikat secara biologis untuk belajar bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara tertentu pula. Selanjutnya ditegaskan bahwa anak-anak itu dilahirkan ke dunia dilengkapi dengan alat pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device / LAD) yaitu ikatan biologis yang memungkinkan anak mendeteksi kategori bahasa tertentu. LAD adalah suatu kemampuan gramatikal yang dibawa sejak lahir yang mendasari semua bahasa manusia.
c.1.3. Peranan Otak Dalam Perkembangan Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian Grazzaniaga dan Sepry (Santrock and Yussen; 1992) bahwa proses bahasa itu dikontrol oleh belahan otak bagian kiri. Berdasarkan hasil studi bahasa pada individu yang mengalami gangguan pada otaknya telah diidentifikasikan pada dua bidang belahan otak kiri yang mengalami kondisi kritis.
c.1.4. Apakah Binatang Memiliki Bahasa
Peranan bahasa dalam evaluasi manusia telah berhasil merangsang para ahli psikologi memikirkan tentang kemungkinan binatang memiliki bahasa. Pada kenyataan tidaklah diragukan bahwa beberapa spesies binatang mempunyai sistem komunikasi yang menakjubkan dan sederhana. Komunikasinya adalah adaftif dalam memberikan tanda bahaya, makanan dan kebutuhan seksual.



c.1.5. Periode Krisis Belajar Bahasa
Berdasarkan pengalaman Henry Kissinger bahwa masa yang sangat peka untuk belajar dan mengembangkan fonologi dan dialek adalah pada sebelum usia 12 tahun.
Berdasarkan hasil temuan-temuan bahwa bahasa harus digerakkan melalui belajar dan waktu yang efektif untuk pengembangan bahasa adalah pada usia dini.
c.2. Faktor Sosiokultural dan Lingkungan
Peranan biologis dalam perkembangan bahasa memang sangat kuat, tetapi aspek yang sangat penting dalam pengembangan bahasa manusia pengaruh dari lingkungan. Karena dari lingkungan itu seseorang dapat mengembangkan tentang kemampuan bahasanya. Tetapi perkembangan bahasanya itu pun disesuaikan dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungannya.


BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam sebuah teks bacaan yang diucapkan oleh anak berusia sembilan tahun yaitu Alfin, terjadi empat macam perubahan bunyi yakni Monoftongisasi, Zeroisasi, Monoftongisasi, Anaptaksis, dan Netralisasi. Namun perubahan-perubahannya bunyi yang ia lakukan masih tergolong dalam lingkup perubahan fonetis, karena perubahan yang ia lakukan tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem. Maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama.
Selain itu, bunyi pengiring yang terdengar dalam pengucapannya, semata-mata hanyalah  cara yang ia tempuh agar mempermudah ia dalam mengucapkan bunyi [s].
Jadi, kesalahan pengucapan bunyi yang dilakukan oleh Alfin masih dalam batas kewajaran, mengingat usianya yang baru sembilan tahun. Dimana pada usia tersebut kemampuan sistem tuturnya masih belum sempurna serta pengetahuan bahasanya masih dipengaruhi oleh lingkungan yang berada di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ratna Dewi, Wendi Widya. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Klaten: PT. INTAN Pariwara.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK DASAR DAN BENTUK ASAL

RAHWANA

Aku (maha)siswa