HILANGNYA EKSISTENSI MANUSIA DAN TUHAN SEBELUM JAMAN TUHAN



Hilangnya Eksistensi Manusia dan Tuhan Sebelum Jaman Tuhan1
Oleh Moh. Qowiyuddin Shofi*


Puisi sama halnya dengan sepiring hidangan siap saji. Ada  yang  memakannya  dengan  cara  sederhana.  Ada yang memakannya dengan cara yang istimewa. Dan ada yang memakannya  dengan cara ala kadarnya. Dari segi rasa,  ada  yang  suka  karena  lidahnya  cocok.  Ada  yang tidak  suka  karena  lidahnya  tidak  cocok.  Bahkan  ada yang sampai membuangnya  karena merasa pahit. Puisi sama   halnya   dengan   sepiring   hidangan   siap   saji. Pengarang   adalah   koki.   Pembaca   adalah   penikmat kuliner

Prolog
Awal  kali saya  memegang  antologi  puisi  yang berjudul  Sebelum  Jaman
Tuhan ini, yang saya lihat pertama kali adalah fisik antologi puisi tersebut. Dari

sampul depannya, terdapat gambar yang absurd/ tidak jelas. Gambar yang paling tengah samar-samar seperti sosok manusia sedang berdiri, namun tidak jelas mana tangan, kaki, dan organ tubuh lainnya. Di sekeliling gambar sosok manusia tak jelas tersebut terdapat angka 12, 3, 6, dan 9 yang diletakkan layaknya angka pada sebuah jam. Angka tersebut terbingkai dalam sebuah bingkai kotak yang sisinya berwarna hitam rusuh. Setelah mengamati semua gambar itu, beberapa pertanyaan bermunculan di pikiran saya. Namun, saya tidak terlalu memikirkan jawaban atas pertanyaan  saya  itu  dan  saya  mencoba  mencari  jawabannya  dengan  melihat sampul belakang dari antologi puisi yang memiliki 76 halaman tersebut. Di situ tertulis semacam ulasan kecil mengenai isi antologi puisi tersebut.

SEBELUM JAMAN TUHAN, sebuah karya yang diapresiasikan untuk semakin memudarnya eksistensi manusia dalam tataran sosial, semakin meredupnya hakikat eksistensi Tuhan dalam segala aspek kehidupan. . . . .
( SJT: Sampul belakang. Paragraf pertama, baris ke-1-4 )

Setelah membaca ulasan tersebut, beberapa hal yang muncul di benak saya adalah,  (1) sebuah karya  yang memiliki  aliran sufistik,  (2) sebuah karya  yang bercerita tentang pudarnya rasa kemanusiaan dan ketuhanan.


Setelah itu, pembacaanpun saya lakukan mulai dari halaman awal hingga halaman  akhir.  Setelah  selesai membaca  dan memahami  semua  puisi tersebut, maka  pikiran  yang  sebelumnya  terdapat  di  benak  saya  terasa  diiyakan  oleh antologi puisi tersebut. Di dalamnya terdapat berbagai puisi yang bersifat sufistik dan mewacanakan mengenai meredupnya eksistensi manusia sebagai manusia dan memudarnya eksistensi Tuhan di mata manusianya.

Yang   saya   maksud   dengan   meredupnya   eksistensi   manusia   sebagai manusia adalah manusia yang seharusnya bertingkah sebagai manusia yang manusiawi, malah bertingkah seperti hewan. Pada dasarnya, manusia merupakan gabungan  antara  malaikat,  yang  berurusan  dengan  iman  (perut  ke  atas);  dan hewan,  yang berurusan dengan nafsu (perut ke bawah); serta ditambahi dengan kesempurnaan mampu berakal yang menjadikan manusia sebagai makhluk ciptaanNya  yang  paling  sempurna.  Namun,  melihat  jaman  yang  sudah  carut marut,  sepertinya  manusia  lebih  mengindahkan  perilaku  kehewanan  yang  ada dalam dirinya (nafsu duniawi) sehingga menjadikan mereka tidak layak dikatakan sebagai manusia. Selanjutnya, yang saya maksud dengan memudarnya eksistensi Tuhan di mata manusianya adalah bahwa Tuhan yang seharusnya menjadi tempat persembahan dan pengagungan manusia, malah dilupakan kehadirannya. Manusia menganggap bahwa Tuhan hanyalah sebuah wacana. Hal itu menyebabkan urusan ketuhanan  sudah  tidak  ada  lagi  di tempat  para manusia  masa  kini  yang  lebih mengepentingkan urusan keduniawiannya.

Hilangnya Eksistensi Manusia dan Tuhan

Hilangnya eksistensi manusia dan Tuhan tergambar dalam antologi puisi

Sebelum Jaman Tuhan, karya tiga sekawanan komunitas Lingkar Sastra: Junaidi, Doi Nuri, dan Mighfar Afzal; pada beberapa puisi berikut.

PENGKAVLINGAN SURGA DAN NERAKA
……………………………….
……………………………………..
……. Ucapanku tentang “lebih baik aku tidak sholat, daripada aku sholat masih berbuat dosa. Kini aku mulai berfikir, sampai kapan aku bisa ikhlas menyerakan diriku sepenuhnya untuk tuhan?................................
( SJT: Halaman 4. Bait kedua. Baris kedua )


Pada  puisi  di  atas,  tergambar  hilangnya   eksistensi  manusia  (sebagai hamba/ abdun) karena telah banyak berbuat dosa, sampai-sampai  ia melupakan Tuhan  dengan  alasan  tidak  ada  lagi  pintu  maaf  bagi  ia  yang  telah  dilumuri berbagai macam dosa, sehingga ia meniadakan Tuhan dari kehidupannya sampai ia kebingungan tak tahu bagaimana cara untuk menghadirkan kembali Tuhan ke dalam hidupnya.

Selanjutnya, kemunafikan, ketidak konsistenan, dan permainan domino terhadap akhirat yang manusia lakukan yang menyebabkan eksistensinya  hilang tergambar dalam puisi berikut.

AKU TERPATRI
……………………….
…………………….. Kemunafikan Ketidak konsistenan
Mereka selalu saja mengkafling surga dan neraka Memperbudak tuhan dengan segala kesombongannya Selalu menari atas keangkuhannya
Dan selalu setelah itu banjir pemikiran liarnya
Dengan otak hanya segumpal tai kebo
Dia menghakimi segalanya
Bahkan Tuhan
( SJT: Halaman 5. Bait ketiga dan keempat )


Puisi di atas, menunjukkan sikap manusia yang tidak manusiawi lagi, yang mana manusia sudah berlaku seenaknya sendiri, bahkan Tuhan pun tidak ia pedulikan.  Tingkahnya tidak ubahnya seperti hewan  yang melakukan segalanya tanpa menggunakan pemikiran akal sehat.

Pada puisi berikut juga ditampakkan hilangnya eksistensi manusia dengan gambaran sikap manusia yang serakah terhadap urusan duniawi.



H_anya U_ntuk K_edudukan U_mum M_elakukan

Daripada

K_orupsi
P_encurian


K_ehidupan P_enyembelihan K_emanusiaan
( SJT: Halaman 34 )


Puisi di atas menegaskan tentang keserakahan manusia masa kini semacam korupsi, pencurian, dan permainan hukum yang telah merugikan berbagai aspek kehidupan dan secara tidak langsung telah menyembelih  atau  meniadakan  nilai kemanusiaan.

Selain gambaran mengenai hilangnya eksistensi manusia di atas, terdapat pula puisi berikut yang menggambarkan hilangnya eksistensi manusia dalam diri seorang pemimpin.

GENERASI SASTRA BANGSA INDOENSIA
……..
…………
…………………….
Jiwa pemimpin semakin miskin Rakyat miskin dianggap tak penting Wah Wah Waaahhh
Inikah produk kita
Demi harta harga diri semakin murah
……………….
…………
( SJT: Halaman 37. Baris ke-6 sampai 11 )


Puisi di atas mengkritik jiwa pemimpin saat ini yang bersikap tidak manusiawi lagi. Para pemimpin telah tergiur dengan harta sampai-sampai  harga diri mereka pun dikalahkan  serta mengabaikan  rakyat  miskin  yang seharusnya menjadi urusan mereka.

Sebenarnya  masih banyak beberapa puisi dalam antologi puisi Sebelum Jaman Tuhan yang menyiratkan tentang hilangnya eksistensi manusia dan Tuhan. Namun,  puisi-puisi  yang  telah  saya  sebutkan  di  atas  sudah  dapat  mewakili beberapa puisi yang lain.

Dari  beberapa   hal  di  atas,   maka  saya   dapat  menyimpulkan   bahwa hilangnya  eksistensi  manusia  pada  diri  manusia  secara  otomatis  memudarkan


eksistensi Tuhan di dalam dirinya, sehingga dapat saya katakan bahwa yang mendasari pengarang menciptakan antologi puisi tersebut adalah beberapa potret sikap tentang manusia masa kini yang lebih didominasi dengan keserakahan, keududukan,  harta, penyimpangan  nilai dan diskriminasi  sosial  yang semua itu
mengakibatkan mereka tidak pantas lagi dinamakan manusia yang manusiawi.



Epilog


Dari berbagai hal yang saya pelajari dari antologi puisi Sebelum Jaman


Tuhan ini, saya dapat mengambil sebuah peringatan khusunya untuk saya pribadi bahwa hidup di jaman sekarang ini, benteng keimanan sangatlah penting untuk dikuatkan agar sisi diri kita sebagai makhluk yang paling sempurna dapat tetap melekat  dalam  diri  kita.  Dan  berdzikir  dengan  maksud  menghadirkan  Tuhan dalam  kehidupan  kita  tanpa  meniadakannya  sama  sekali  dapat  menghindarkan sikap nafsu dalam diri kita terhadap giuran harta, kedudukan, dan penyimpangan nilai.

Akhirnya, sekaligus mewakili tujuan dari pengarang, saya berdoa semoga antologi puisi Sebelum Jaman Tuhan ini dapat menyadarkan para manusia yang telah kehilangan eksistensi untuk kembali menata eksistensinya di dunia dan menyadarkan mereka yang dengan tidak sadar telah meniadakan Tuhannya untuk segera kembali memanggil Tuhan dan meminta kehadiranNya kembali dalam kehidupan.






1 Sebuah Antologi Puisi karya Junaidi, Doi Nuri, dan Mighfar Afzal yang berkumpul dalam komunitas Lingkar Sastra.
* Mahasiswa STKIP PGRI Jombang Progam Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Angkatan 2010 kelas B. NIM: 106336.





ESAI PEMAKALAH


HILANGNYA EKSISTENSI MANUSIA DAN TUHAN

SEBELUM JAMAN TUHAN

Dibuat untuk memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah Puisi


Dosen pengampu: ANTON WAHYUDI, M.PD



Oleh:

MOH. QOWIYUDDIN SHOFI
1 0 6 3 3 6





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG


2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK DASAR DAN BENTUK ASAL

RAHWANA

Aku (maha)siswa