‘DOKTORANDUS TIKUS 1’, TITEL UNTUK PARA KORUPTOR



‘DOKTORANDUS TIKUS 1’, TITEL UNTUK PARA KORUPTOR
Oleh Moh. Qowiyuddin Shofi[1]

“Sebuah puisi di dalamnya merupakan
rekaman dan interprestasi pengalaman manusia yang penting
digubah menjadi wujud yang paling berkesan.”
( Pradopo, 1987:7[2] )

Pernyataan di atas nampaknya tidak jauh beda dengan pernyataan yang selalu dilontarkan oleh beberapa orang, seperti beberapa dosen sastra saya yang saya tanyai mengenai bagaimana cara kita memahami sebuah karya sastra. ‘Karya sastra lahir tanpa kekosongan budaya’, itulah pernyataan yang selalu dilontarkan oleh mereka saat menjawab pertanyaan saya. Pernyataan Pradopo dan beberapa orang yang memiliki pendapat tidak jauh beda tersebut rupanya ingin menegaskan bahwa pengarang tidak pernah bermain-main dengan hasil karangannya. Karena karya pengarang merupakan rekaman atau potret dari hal yang pernah dialami dan dilihat oleh pengarang tersebut. Oleh karena itu, jika saya ingin memahami sebuah karya sastra, maka saya harus mengetahui peristiwa yang terjadi saat karya sastra itu lahir dan mengaitkannya dengan peristiwa saat ini.
DOKTORANDUS TIKUS 1 adalah judul puisi karya F. Rahardi yang tercantum dalam buku puisi Soempah WTS (1983). Ketika saya mencoba memahami puisi Rahardi yang bersifat kontemporer tersebut dengan pembacaan secara berulang, maka yang terbesit dalam pikiran saya adalah apa sebenarnya yang dipotret oleh Rahardi pada masa itu, mengapa penyair yang pernah mengasuh majalah pertanian Trubus (1977-1997) ini memotret prosesi wisuda para sarjanawan, dan mengapa diksi yang digunakan adalah tikus dan kucing. Saya pikir hal-hal mengenai diksi adalah semiotik pilihan pengarang. Namun yang paling menggugah rasa penasaran saya adalah tentang peristiwa pada tahun 1983 yang diprotet oleh Rahardi ke dalam puisinya yang berjudul DOKTORANDUS TIKUS 1.
Untuk melegakan rasa penasaran, saya mulai browsing di situs Google dengan harapan saya dapat mengetahui banyak peristiwa penting mengenai hal yang terjadi pada tahun 1983 di Indonesia. Saya menemukan banyak peristiwa pada tahun yang disebut masa orde baru ini, baik hal mengenai ekonomi, budaya, perpolitikan, dsb. Namun peristiwa yang paling saya amati adalah ‘KORUPSI’. Ternyata korupsi lagi-lagi menjadi bumbu penyedap negara Indonesia dari dulu hingga sekarang, seakan-akan bukan Indonesia namanya jika tidak ada kasus korupsi di dalamnya. Namun, itu bukan hasil akhir browsing saya. Yang lebih ingin saya tahu adalah bagaimana asal-mula lahirnya para koruptor itu.
Tidak ada hasil browsing selanjutnya yang dapat memuaskan rasa penasaran saya. Saya pikir yang mampu menjawab pertanyaan saya di atas adalah F. Rahardi yang menuliskan jawabannya ke dalam puisinya yang berjudul DOKTORANDUS TIKUS 1. Saya katakan puisi tersebut adalah sebuah jawaban karena saya pikir bukan peristiwa mengenai pengkorupsian yang direkam olehnya, namun peristiwa asal-mula lahirnya para koruptor di Indonesialah yang sebenarnya ia potret. Maka yang harus saya lakukan selanjutnya adalah menelaah puisi tersebut.
Setelah saya menelaah, baik secara fisik maupun batin guna mendapatkan jawaban atas rasa penasaran saya, maka dapat saya katakan bahwa puisi DOKTORANDUS TIKUS 1 karya F. Rahardi ini mengemukakan tentang kritikan bagi dunia pendidikan. Pendidikan merupakan kunci utama untuk melangkah ke depan. Namun, masalah pendidikan di negara kita ini sudah menjadi hal yang sangat klasik. Salah satu permasalahan pendidikan tersebut divisualkan oleh Rahardi dalam puisinya yang bercerita tentang pencapaian gelar sarjana dengan cara yang tidak lazim. Lebih mementingkan cara instan dari pada proses. Hal inilah yang menimbulkan lulusan yang tidak berkualitas sehingga Rahardi menggambarkan para lulusan tersebut pada saat prosesi wisuda dengan penggambaran ‘selusin toga/ me/ nga/ nga’ (DT1, B1, L1-4)[3]. Toga merupakan jubah hitam yang sangat sakral dan agung. Namun ketika toga tersebut dikatakan menganga, maka kesakralan dan keagungan toga tersebut hilang, sehingga yang ada adalah lulusan yang siap menjadi perusak bangsa. Hal inilah yang sekaligus menjawab pertanyaan saya mengenai bagaimana asal-mula lahirnya para koruptor. Ternyata para koruptor lahir pada saat mereka menempuh jenjang pendidikan mereka masing-masing. Dan saat mereka menempuh jenjang pendidikan dengan cara yang menyimpang, maka disinilah ‘KARAKTER KORUPTOR’ mulai tercipta dan yang terjadi saat mereka diwisuda adalah ‘seratus tikus berkampus/ di atasnya’(DT1, B1, L5-6). Rahardi dengan tegas menyebut mereka tikus (julukan populer untuk para koruptor) karena ia sudah sangat yakin bahwa lulusan yang curang akan menebarkan kecurangan mereka saat terjun di masyarakat. Kecurangan tersebut sudah ditampakkan pada saat menempuh sebuah pendidikan yang digambarkan Rahardi pada larik ‘dosen dijerat/ profesor diracun’ (DT1, B2, L1-2) yang saya artikan bahwa dosen telah dijerat dan diracuni oleh uang yang diberikan oleh para mahasiswa calon koruptor.
Pada masa 1983 bahkan hingga sampai saat ini banyak sekali orang-orang yang lebih mengutamakan meraih gelar dengan cara membeli dari pada berproses. Banyak dosen atau profesor yang tak berdaya saat mereka disodori uang oleh mahasiswanya, sehinga yang terjadi adalah ‘kucing/ kawin/ dan bunting’ (DT1, B2, L3-5). Kucing merupakan penggambaran dari dosen atau profesor yang semestinya mengawasi mahasiswanya yang berulah curang layaknya tikus, namun, mereka semua tak berdaya. Ketidakberdayaan mereka digambarkan seperti kucing yang kawin dan bunting. Sehingga dengan berbagai penyelewengan pendidikan yang terjadi, mahasiswa calon koruptor lulus ‘dengan predikat/ sangat memuaskan’ (DT1, B3, L1-2). Sehingga untuk mereka yang meraih titel dengan cara yang menyimpang, Rahardi menyebutnya si Doktorandus Tikus 1, yakni gelar akademis untuk para koruptor tingkat pertama.
Nampaknya hal yang dikritisi Rahardi ini akan terus berkelanjutan jika si kucing terus-terusan kawin dan bunting, sehingga si tikus semakin meninggikan titelnya sampai memiliki titel yang paling tinggi, yaitu Profesor Doktor Tikus 1.


[1] Mahasiswa STKIP PGRI Jombang, jurusan Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2010 dengan NIM 106.336. Aktif sebagai pegiat teater di komunitas Teater Ringin Conthong.
[2] Dalam Kritik Sastra Indonesia Modern, Yogyakarta: Gama Media.
[3] DT1= Doktorandus Tikus 1. B= Bait. L= Larik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK DASAR DAN BENTUK ASAL

RAHWANA

Aku (maha)siswa