CERPEN SEPOTONG TANGAN : ‘AJARAN TENTANG SEBUAH KESETIAAN’



CERPEN SEPOTONG TANGAN
‘AJARAN TENTANG SEBUAH KESETIAAN’
*Oleh  Moh. Qowiyuddin Shofi
“Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca.”
(Pradopo, 1994)
C
erpen “Sepotong Tangan” karya Ratih Kumala merupakan salah satu judul cerpen yang ada di dalam buku kumpulan cerpen “20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008”. Sebuah cerpen yang juga mendapatkan ‘Anugerah Sastra Pena Kencana Tahun 2008’.Cerpen ini menceritakan tentangkesetiaan seorang suami terhadap sang istri. Padahal si suami tersebut mengalami masa pahit, yakni ia tidak bisa menjadi seorang ayah karena istrinya tidak dapat memberikan keturunan. Namun, karena ketulusan cintanya, ia tetap tegar dan tetap setia mencintai sang istri hingga masa tua datang. Disinilah ia mulai diuji. Sang istri meninggal, yang secara otomatis menguras sejuta tetesan air mata dari lelaki tersebut yang kini sudah tua. Ia menangis. Bingung. Hampa. Karena selama ini ia merasa hidup karena sang istri. Ia tak tahu harus bagaimana. Yang ia tahu, ia harus mengurusi jasat istrinya. Namun ia bingung. Dengan cara apa ia mengurus jasat tersebut seorang diri. Akhirnya ia berfikir untuk mencari pertolongan. Namun, lagi-lagi ia dibingungkan oleh keadaan. Keadaan yang sudah menjadi kebiasaannya, yaitu ia tidak bisa pergi tanpa ditemani sang istri. Akhirnya ia memutuskan memotong tangan sang istri sebagai tanda bahwa ia masih ditemani sang istri. Sesampainya di rumah saudaranya untuk meminta pertolongan, ia dikejutkan dengan hantaman yang membuatnya pingsan. Hal itu terjadi karena saudaranya mengira bahwa ia telah melakukan sebuah pembunuhan sadis. Setelah lelaki tua itu sadar, Ia sudah berada di kantor polisi dan sudah terdapat banyak wartawan yang mengerumuninya untuk mengumpulkan data yang akan dijadikan berita dalam koran kriminal. Dengan pelan dan masih dalam keadaan sedih, ia memaparkan kronologis kejadian, serta ia mengklarifikasi bahwa tindakannya bukanlah merupakan sebuah pembunuhan. Namun semua orang masih dibingungkan dengan pemotongan tangan yang ia lakukan kepada istrinya. Hingga akhirnya gadis kecil yang juga keponakannya bertanya padanya tentang kematian bibinya yang meninggal karena diduga dibunuh oleh suaminya sendiri, lalu lelaki tua yang masih dalam keadaan sedih tersebut menjawab,
"Aku tidak memotong tangannya sebelum dia meninggal, Nak. Tak mungkin aku tega berbuat begitu. Aku sangat mencintai bibimu. Aku memotongnya setelah dia meninggal. Karena aku ‘tak bisa hidup tanpa dia, Nak. Aku ‘tak tahu apa yang harus kuperbuat tanpa dia. Aku ‘tak mungkin pergi cari bantuan dengan membawa mayatnya, terlalu berat untukku. Maka aku memutuskan untuk membawa tangannya saja. Sebab, aku butuh kekuatan dari perempuan yang sangat kucintai. Aku ingin menggenggam tangannya agar aku kuat."
Ruangan henyap. Tak ada yang berbicara, ‘tak terdengar mesin ketik berbunyi, ‘tak terdengar suara kamera memotret. Keponakan kecil itu memandangi pamannya, lalu dengan spontan mengucap,
"Jika aku punya suami kelak, aku ingin yang seperti paman!"
Dalam ulasan ini penulis mengaji cerpen “Sepotong Tangan” karya Ratih Kumala dengan menggunakan ‘Pendekaatan Pragmatik’.Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini, tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain.
Selanjutnya, penulis menganalisis cerpen “Sepotong Tangan” dengan cara menemukan tujuan-tujuan yang ingin disampaikan penulis (Ratih Kumala) kepada pembaca.Adapaun tujuan yang ingin disampaikan dalam cerpen ini berupa moral tentang ‘sebuah kesetiaan’. Semua itu terlukiskan pada sosok lelaki tua yang menjadi suami yang setia pada sang istri dalam cerpen “Sepotong Tangan”.
Ranjang adalah tempat favorit keduanya. Tempat mereka ‘tak hanya tempat tidur, tetapi juga tempat panas saat terbakar asmara pada malam-malam, siang-siang, pagi-pagi, dan sore-sore, hingga saat tubuh keduanya ‘tak lagi perkasa dan ranjang menjadi dingin dan keduanya memindahkan televisi ke dalam kamar sebagai hiburan juga tumpukan buku sebagai bacaan. Di atas semua itu, ada satu yang tak pernah berubah, mereka ‘tak pernah bosan berpegangan tangan. Ranjang bisa saja berubah dingin, sedingin ubin. Tapi tangan mereka yang ‘tak lepas paut tetap membuat hati keduanya hangat.
(Cerpen Sepotong Tangan, paragraf 2)
Dari data di atas, tergambar kesetiaan antara pasangan suami-istri, yakni mereka selalu memadu-kasih-kemesahan sampai di usia tua. Jarang sekali mendapati pasangan seperti itu, karena kebanyakan pasangan suami-istri pada umumnya hanya melakukan kemesrahan pada masa-masa usia pernikahan masih muda hingga bertahan sekian tahun saja, setelah itu kemesrahan hilang, hanya perselisihan yang selalu ada. Sangat jelas sekali bahawa Ratih Kumala ingin menghimbau kepada semua pasangan suami-istri untuk tetap menjalin kemesrahan dalam keadaan apapun dan usia berapapun.
Tiga puluh tujuh tahun, dan ‘tak satu anak pun yang lahir dari rahim sang istri. Mereka sudah melewati tahun-tahun saat perempuan tua itu mengutuki dirinya sendiri atas ketakkunjungan dirinya berbadan dua. Ada saat sang istri tak hendak melepas genggaman suaminya, mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Kekhawatirannya akan kemungkinan lelaki itu berpaling ke perempuan yang lebih muda—dan lebih subur—sempat membuncah. Toh lelaki itu tetap membiarkan istrinya menggenggam tangannya, membuat cincin kawin keduanya beradu, menjadikan tangan mereka basah keringat, dan lelaki itu justru lebih erat lagi menggenggam tangan istrinya. Tahun-tahun berlalu, mereka sedikit demi sedikit mengubur impian purba mereka. Tak ada anak. Selanjutnya, entah dari mana atau kapan atau bagaimana tepatnya, rumah mungil mereka telah penuh dengan kucing. Padahal dulu, mereka selalu berpikir bahwa bulu kucing ‘tak baik bagi pernafasan anak. Kini kucing-kucing betah berkumpul di rumah itu. Tak satu pun kucing yang datang diusir, semua bebas datang.
(Cerpen Sepotong Tangan, paragraf 3)
Dari data di atas, tergambar kesetiaan seorang suami terhadap sang istri meski sang istri tersebut tak mampu memberikan momongan. Padahal menjadi seorang ayah merupakan impian semua suami. Bahkan tak jarang para suami menikah lagi demi mendapatkan keturunan karena istri pertama tidak mampu memberikan anak. Namun hal tersebut ditolak oleh Ratih Kumala dalam cerpennya, bahwa ia menginginkan sebuah kesetiaan harus tetap ada dalam kondisi apapun. Tersirat dari cerpennya bahwa secara hakiki, hubungan suami-istri tidak disimboliskan dengan adanya keturunan, namun dengan adanya kesetiaan untuk saling menerima di segala macam keadaan.
"Aku tidak memotong tangannya sebelum dia meninggal, Nak. Tak mungkin aku tega berbuat begitu. Aku sangat mencintai bibimu. Aku memotongnya setelah dia meninggal."
"Kenapa dipotong?" tanyanya lugu.
"Karena aku ‘tak bisa hidup tanpa dia, Nak. Aku ‘tak tahu apa yang harus kuperbuat tanpa dia. Aku ‘tak mungkin pergi cari bantuan dengan membawa mayatnya, terlalu berat untukku. Maka aku memutuskan untuk membawa tangannya saja. Sebab, aku butuh kekuatan dari perempuan yang sangat kucintai. Aku ingin menggenggam tangannya agar aku kuat."
Ruangan henyap. Tak ada yang berbicara, ‘tak terdengar mesin ketik berbunyi, ‘tak terdengar suara kamera memotret. Keponakan kecil itu memandangi pamannya, lalu dengan spontan mengucap, "Jika aku punya suami kelak, aku ingin yang seperti paman !"
Ada jeda.Bisik beberapa suara hati di ruangan itu, “Ya, aku ingin laki-lakiku memotong tanganku...”.
(Cerpen Sepotong Tangan, bagian akhir cerita)
Dari data di atas, terdapat tindakan kurang wajar yang dilakukan oleh sang suami, yakni memotong tangan sang istri. Jika kita mengingat kembali bahwa sebuah karya sastra adalah bersifat multi-interpretation, yakni kita mengartikan sebuah karya sastra tidak cukup dengan satu arti saja, melainkan butuh beberapa arti untuk menemukan sebuah maksud atau tujuan dari penulis. Dari hal di atas, interpretasi penulis mengatakan bahwa kejadian memotong tangan adalah sebuah simbol kesetiaan seorang suami yang ditinggal oleh sang istri. Ia memotong tangan istrinya digunakan sebagai tanda bahwa meski istrinya telah tiada, ia akan tetap menganggap sang istri selalu disamping. Padahal banyak dari para suami ketika ditinggal istrinya meninggal, mereka hanya menampakkan kesedihan sesaat, setelah itu mereka menikah lagi. Namun dalam cerpen ini, Ratih Kumala membuat kejadian demikian sebagai simbol bahwa lelaki tersebut akan tetap selalu membawa istrinya kemanapun dan dimanapun meskipun istrinya telah tiada. Semua itu dilakukan karena ia mencintai dan setia kepada sang sitri.
Dengan demikian, melalui pendekatan pragmatik yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, maka dapat kita ambil sebuah pesan atau tujuan yang ingin disampaikan oleh penulis yang terkandung dalam cerpen “Sepotong Tangan” karya Ratih Kumala tersebut, bahwa sebuah kesetiaan dalam hubungan suami-istri merupakan hal yang sangat penting. Saling menjaga dan mencintai pasangan dalam keadaan apapun; suka-duka, kaya-miskin, tawa-tangis; merupakan cara yang tepat untuk mengungkapkan rasa kesetiaan kita terhadap pasangan walaupun ia sudah tiada. (*)





(* Disusun oleh Moh. Qowiyuddin Shofi (NIM. 106. 336)sebagai tugas UAS mata kuliah Teori Sastra, Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia 2010 C.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK DASAR DAN BENTUK ASAL

RAHWANA

Aku (maha)siswa