CERPEN PERADILAN RAKYAT : SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK



CERPEN PERADILAN RAKYAT : SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK

Oleh  M. Qowiyuddin Shofi, dkk.

“Semiotik adalah ilmu tentang tanda”.
(Piliang, 2009)

Prolog
Cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya merupakan salah satu cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Klop Putu Wijaya tahun 2010. Cerpen ini menceritakan tentang sebuah dialog seorang anak dengan ayahnya. Kedatangan tersebut bukan sekedar hubungan Ayah dan anak, melainkan seorang pengacara yang masih junior dan pengacara yang sudah senior. Kedatangan pengacara muda tersebut untuk memperbincangkan masalah hukum di negara yang dirasanya lemah. Pengacara muda ini sedang menangani suatu kasus dipersidangan. Ia ditugaskan oleh negaranya untuk membela seorang penjahat yang telah merugikan negara. Semula ia tidak mau. Namun setelah mengetahui banyak hal tentang persandiwaraan dalam persidangan, serta penjahat itu juga secara langsung meminta pengacara muda itu untuk membelanya. Maka pengacara muda itu menerimanya. Bukan karena uang, ancaman, balas jasa, atau pun untuk meraih publikasi karena kehebatannya dalam membela, namun, karena ia merasa sebagai seorang pengacara yang professional. Pengacara muda itu tidak bisa menolak karena hal itu adalah kewajiban seorang pengacara untuk membela siapapun di pengadilan ketika diminta mejadi seorang pembela. Dalam dialog itu sudah tergambarkan kemenangan persidangan ada di pihak pengacara muda, karena bukti-bukti yang diberikan oleh negara sangat sedikit dan lemah, pengadilan itu juga terkesan tergesa-gesa, sehingga pengacara itu bisa menang dengan mudah. Setelah Pengadilan terhadap penjahat itu dimulai. Gambaran dari pengacara itu benar-benar terjadi. Hasil persidangan dimenangkan oleh pengacara muda tersebut, maka penjahat itupun bebas. Dengan tertawa lepas penjahat itu menerima kebebasannya dan dengan cepat dia pergi keluar negeri dan sudah sulit untuk dijamah kembali. Mengetahui hal itu rakyat menjadi marah, mereka turun kejalan. Demonstrasi dimana-mana, gedung pengadilan dibakar, para hakimnya dikejar, dan pengacara muda itu diculik dan disiksa, dan setelah menjadi mayat baru dikembalikan. Rakyat sangat marah dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Dalam ulasan ini penulis mengaji cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya dengan menggunakan kajian Semiotik. Kajian semiotik adalah kajian yang mempelajari tentang tanda dalam sebuah karya. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan. Semiotik berasal dari bahasa Yunani; semeion, yang berarti tanda. Secara umum, semiotik adalah ilmu yang memelajari tentang tanda. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain.
Kajian semiotik menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotik secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure berada di Eropa, dan memiliki latar belakang keilmuan linguistik. Sedangkan Peirce berada di Amerika Serikat, dan memiliki latar belakang keilmuan filsafat.
Pada analisa ini, penulis mengacu pada pendapat tokoh Charles Sander Peirce, yang mengemukakan istilah semiotika untuk ilmu tanda-tanda, dan dia juga mengatakan bahwa semiotika sebagai sinonim dari logika. Menurutnya, logika harus mempelajari bagaimana orang-orang bernalar, dan penalaran itu dilakukan melalui tanda-tanda. Alasannya, tanda-tanda itu dapat memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan demikian, secara harfiah dia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda.”
Peirce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah (1) ikon untuk kesamaannya (contoh: wanita itu cantik seperti bunga mawar), (2) indeks untuk hubungan sebab akibat (contoh: kau adalah titipan sekaligus harapan kami), dan (3) simbol untuk asosiasi konvensional (contoh: piring untuk tempat makanan).


Ikonisitas dalam Cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya
Ikon dalam tinjauan semiotik adalah tanda-tanda yang berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya. Dalam cerpen Peradilan Rakyat terdapat ikonisitas dalam kutipan sebagai berikut.
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini." Pengacara muda itu tersenyum.
Pada kutipan tersebut, ujung tombak pencarian keadilan menjadi ikon dari pengacara “andalan”, dan juga negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi menjadi ikon dari negeri yang sedang dirusak oleh korupsi.
Selanjutnya dalam kutipan:
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Dalam kutipan tersebut, yang kebanyakan berdagang menjadi ikon dari “para pengacara yang lebih banyak menjual jasa mereka dari pada keadlian mereka”. Kemudian menjadi lebih buas menjadi ikon dari “kekejaman”. Dan kebenaran yang dulu diberhalakannya menjadi ikon dari “kebenaran yang dulu disembah/diagungkan”. Kemudia Mereka menyebutku Singa Lapar menjadi ikon dari “kehebatan pengacara tua yang tidak ada hentinya untuk memburu para penjahat keadilan”.
Selanjutnya dalam kutipan:
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
Pada kutipan di atas, macan ompong menjadi ikon dari “pengacara hebat yang sudah tua”.
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Kutipan di atas, bagaikan mata air, bagai suara alam menjadi ikon dari “sesuatu yang berjalan sewajarnya, yakni berjalan sesuai dengan arah tanpa menggebu dan tergesa-gesa”.
Selanjutnya pada kutipan:
Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Pada kutipan di atas, seperti Mike Tyson menjadi ikon dari “seorang pembela yang perkasa yang selalu berhasil memenangkan semua perkara”.

Indeksitas dalam Cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya
Indeks dalam tinjauan semiotik adalah keberadaan tanda yang memiliki sebab-akibat dengan tanda lain. Dalam cerpen Peradilan Rakyat terdapat indeksitas dalam kutipan sebagai berikut.
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?"
Pada kutipan tersebut, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan menjadi indeks dari “menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini”. Yakni seorang penjahat besar sebagai sebab, bencana akan terjadi di negara ini menjadi akibat.
Simbolisitas dalam Cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya
Simbol dalam tinjauan semiotik adalah tanda-tanda yang sudah menjadi konvensional. Dalam cerpen Peradilan Rakyat terdapat simbolisitas dalam kutipan sebagai berikut.
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.
Pada kutipan tersebut, jenggot memutih merupakan simbol dari “orang yang tua” yang mana hal tersebut sudah menjadi suatu konvensi.
Selanjutnya pada kutipan:
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Pada kutipan mengangguk-anggukkan kepala merupakan simbol dari “tanda mengerti”.

Epilog
Semiotik adalah ilmu tentang tanda. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan. Dalam cerpen Peradilan Rakyat karya Putu Wijaya yang menceritakan tentang perbincangan antara seorang anak (pengacara muda) dengan ayahnya (pengacara tua) mengenai sistem pengadilan di Indonesia, yang ditinjau oleh penulis melalui kajian semiotik, terdapat berbagai ketandaan di dalamnya, terutama ketandaan yang berupa ikon (tanda-tanda yang berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya), indeks (keberadaan tanda yang memiliki sebab-akibat dengan tanda lain), dan simbol (tanda-tanda yang sudah menjadi konvensional).

Daftar Rujukan
A. Syuropati, Mohammad. 2011. 5 Teori Sastra Kontemporer Dan 13 Tokohnya. Bantul: IN AzNa Books
http://bangpek-kuliahsastra.blogspot.com/2011/01/teori-sastra.html
http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html

CERPEN PERADILAN RAKYAT : SEBUAH TINJAUAN SEMIOTIK

Disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Teori Sastra

Dosen Pembimbing: Anton Wahyudi, S. Pd

 









Disusun Oleh Kelompok 8:
1. Fikria Nur Rahma
106. 342
2. Moh. Qowiyuddin Shofi
106. 336
3. Nur Widayatiningsih
106. 397
4. Nur Siti Chomariyah
106. 399


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
 PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG
2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK DASAR DAN BENTUK ASAL

RAHWANA

Aku (maha)siswa